Selasa, Mei 7, 2024

Emmy Hafild, sosok legenda dalam isu lingkungan

Must read

Oleh Hening Parlan

Nurul Almy Hafild yang akrab dipanggil Emmy Hafild (lahir di Petumbukan, Sumatera Utara, 3 April 1958) adalah seorang aktivis perempuan yang tak henti-hentinya mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekitarnya. Hampir 34 tahun ia terjun di dunia lingkungan hidup. Beragam posisi ia raih. Dari Yayasan Indonesia Hijau, Walhi, hingga direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara. Obituari untuk mengenang beliau.

Malam berdoa bersama 

2 Juli pukul 05.30, telepon berdering dari Kang Jamet yang mengabarkan kalau Mbak Emmy sudah ditidurkan sejak pukul 00. Kabar bahwa Mbak Emmy kondisinya naik turun sudah kami dengar, namun kabar pagi itu sungguh menyesakkan, entah kenapa. Lalu saya telepon Ovi, Mbak Ijul dan Mbak Hanni, semua sedih dan kita semua mendoakan yang terbaik. 

Tanggal 2, 3 Juli di grup WhatsApp rame update tentang kondisi Mbak Emmy di mana update dapat dari Mbak Hanni atau dari keluarga via Ovi. Tanggal 3 Juli malam hari, ada doa bersama di mana Mbak Sandra menjadi moderator. Saya japri ke Mbak Sandra agar kita baca Al Fatihah buat Mbak Emmy.

Saat itu hati saya tak menentu, Mbak Emmy seperti mau pergi, air mata saya tak bisa dibendung sejak ba’da Isya’. Saya sampaikan ke Mbak Sandra agar Kang Jamet yang membacakan karena saya pasti sangat emosional. Namun Mas Jamet tidak ada dalam forum itu. Saat masih ada yang bicara, kabar duka masuk, innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Mbak Emmy telah kembali kepada Sang Pencipta Allah SWT pada saat kita sahabat-sahabat dan muridnya mendoakannya. 

Perkenalan awal

Juni 1998 saya dan suami (Mas Yanuar) pulang dari NTT karena suami saya dipindahtugaskan dari Dolog NTT ke Dolog DKI. Saya yang tengah hamil 3 bulan tak tahan di rumah dan pengen berkegiatan. Lalu saya buka satu persatu kontak yang pernah saya wawancara pada saat saya sebelum ke NTT dan menjadi jurnalis TIRAS. Kutemukan kontak Direktur WALHI, lalu saya menelepon kantor WALHI yang di Tegal Parang Jakarta. Yang menerima adalah Kang Jamet dan disambungkan dengan Direktur WALHI yang saat itu adalah Mbak Emmy Hafild. 

Dalam pembicaraan siangkat Mbak Emmy bertanya, di mana sebelumnya saya bekerja. Saya sampaikan bahwa saya sebelumnya wartawan, Mbak Emmy langsung bilang, “Senin kamu ke sini, saya butuh orang untuk mengurus media dan komunikasi.”

Enam bulan setelah saya di WALHI, saya cuti melahirkan dan sebelum tiga bulan Mbak Dhini yang saat itu sekeretaris Mbak Emmy datang ke rumah, minta saya kembali ke WALHI melanjutkan pekerjaan. Mulai hari itulah saya di WALHI lebih dari 6 tahun di masa kepengurusan Mbak Emmy dan Bang Longgena Ginting.

Mbak Emmy, pengkader sejati 

Saya adalah salah satu staf yang berkantor di WALHI Tegal Parang, di mana setiap hari kita berinteraksi dengan Mbak Emmy, sosok yang unik dan sangat kami segani.

Kantor WALHI Tegal Parang  ada dua lantai dan saya dengan beberapa teman di lantai 2, namun kalau Mbak Emmy sudah datang, kami akan bersiap di panggil melalui panggilan telepon. Dan kami akan senang dan bersorak kalau lolos dari panggilan. Misalnya Jokoooo ….. Hening ….Yaya ….. Ovi …. Jamet …. Raja … Budi, dan seterusnya. 

Setiap kami dipanggil hampir pasti akan ditanya kerjaan. Bahasa kami kita akan diomelin dan dimarahi. Kadang-kadang speaker-nya lupa dimatikan, sehingga omelan Mbak Emmy akan didengar orang sekantor. Dan hal-hal itu akan menjadi kenangan tak terlupakan berikutnya. Kami sering berharap Mbak Emmy lupa pada apa yang disampaikan sebelumnya, namun tidak pernah dan tidak akan pernah lupa, Mbak Emmy mempunyai daya ingat yang luar biasa. 

Teman-teman seangkatan punya preferensi untuk hebat dalam satu isu, misalnya Indah di isu tambang, Yaya di isu hutan, Radja di isu kelautan dan seterusnya. Namun hal itu tidak buat saya. Saya menjadi generalis, dan ini menyebalkan. Saya harus mengurusi media di mana orang yang saya urus sangat unik, cerdas, pemberani dan kadang membingungkan saya. 

Saya merasa menyerah mengikuti pola pikir Mbak Emmy, terlebih WALHI adalah NGO yang pemberani dan pada saat-saat itu pada titik puncak mengkritisi pemerintah dalam banyak hal. Mulai dari masalah Freeport, Inti Indorayon, Kali Bange, kebakaran hutan dan meluas pada isu demokratisasi, gender dan HAM.

Saya pusing mengikuti Mbak Emmy karena bahan siaran pers atau analisa selalu selalu kurang, bolak balik dan diangggap tidak sempurna. Beliau bilang harus dihubungkan politik, isunya kurang dalam, posisinya WALHI di mana, dan seterusnya.  

Meski deg-degan, namun saya belajar dari setiap apa yang beliau sampaikan, saya berusaha menyimak. Pada akhirnya saya belajar banyak dari Mbak Emmy tentang keperpihakan, politik dan strategi. Hal lainnya, bertahun-tahun saya selalu ‘ngintil’ Mbak Emmy di banyak jaringan NGO dan pertemuan membuat saya banyak bersyukur karena kenal banyak jaringan dan ikut memahami pola-pola gerakan mereka. Mbak Emmy adalah connecting people yang hebat. 

Saat Soeharto turun, Mbak Emmy diserang media. Media menyampaikan bahwa Mbak Emmy menyembah Gus Dur dan beritanya menyeruak di mana-mana. Mbak Emmy dikritik pedas karena dianggap takluk kepada penguasa.  

Pagi itu kalau tidak salah sekitar pukul 5.30 Mbak Emmy telepon ke rumah dan menyampaikan ke suami saya kalau mau bicara dengan saya. Tak biasanya beliau telepon ke rumah. Suami bilang kalau Mbak Emmy minta ijin agar saya ke kantor pagi-pagi. Wah, situasi genting pikirku.  Media salah tulis dan itu harus diluruskan, itu pesan utama Mbak Emmy. 

Lalu saya  janjian sama Mbak Emmy di kantor dan dibantu kawan-kawan mencari semua media yang menuliskan berita Mbak Emmy – Gus Dur. Saat itu yang harus dilakukan adalah meluruskan pemberitaan.

Foto: Biografi Emmy Hafild

Maka setelah ngobrol dengan beliau diputuskan ada konferensi pers dan silaturahmi media. Untuk yang pertama di WALHI. Di situ Mbak Emmy menjelaskan bahkan mempraktikkan, bahwa yang dilakukan Mbak Emmy adalah jongkok di depan, beliau menganggap  Gus Dur sebagai orangtua sehingga beliau jongkok untuk menghargai bukan menyembah. Namun hasil konferensi pers tersebut tak memuaskan Mbak Emmy dan kami lanjut dengan strategi kedua, yakni silaturahmi yang dilakukan di LIPI. 

Sebelum mulai, Mbak Emmy menyerahkan banyak kaca kecil (berbentuk segi empat yang biasa dipasang di rumah). “Mbak ini buat apa?” tanyaku saat itu. “Ini buat ngaca, biar wartawan itu ngaca, mereka tidak tahu diri, mereka payah masa tidak bisa menerima penjelasan. Mereka biar ngaca nih,” katanya sewot.

Waduh, bahaya nih pikirku kalau sampai diberikan, hancur nih reputasi Mbak Emmy. Sekuat tenaga saya berargumen pada Mbak Emmy, sampai saya bilang, “Mbak, maaf kali ini Mbak Emmy harus nurut sama saya.” Mbak Emmy kelihatan jengkel dengan saya namun akhirnya menyerah, kaca tidak dikeluarkan dan tidak dibagikan ke wartawan hingga saat berakhir silaturahmi dengan wartawan. 

Peristiwa lain adalah saat ada arus pengungsian besar-besaran di Aceh, saya ditugaskan Mbak Emmy berkoordinasi dengan Komnas HAM dan panitia serta kantor Presiden dan saya diminta berkantor Medco selama tiga bulan.

Dari Komnas HAM yang saat itu adalah Bapak (alm) Hasbalah M. Saad dan beberapa kurator seni yang saya tak ingat lagi namun mereka adalah alumni ITB. 

Saat di Medco, kalau pagi sering disapa ramah oleh Pak Helmi Panigoro. Sungguh saya saat itu kagum sama beliau, masih muda, keren dan baik. Saat itu saya tengah hamil anak kedua, saya bahkan berdoa agar anak saya hebat seperti Helmi Panigoro.

Pameran berlangsung dengan baik dan dibuka oleh Presiden RI yang saat itu adalah Gus Dur. Donasinya disampaikan kepada pengungsi Aceh melalui rekening WALHI. 

Kampanye Komodo. Pada saat saya sudah menjadi Direktur HFI, Mbak Emmy mengurus kampanye Komodo untuk dijadikan sebagai salah satu keajaiban dunia. Suatu siang tumben banget beliau telepon dan saya ditanya apakah saya sibuk dan apakah masih ada waktu membantunya mengurus kampanye. Beliau juga bilang ini volunteer. 

Hampir tidak mungkin menolak Mbak Emmy dan satu-satunya jawaban adalah saya bisa namun tidak bisa full time. Lalu beliau meminta saya ke rumah beliau katanya mau di-briefing, namun di tengah jalan beliau mengabari agar saya menyusulnya di suatu tempat.

Saat sampai tempat pertemuan, ternyata di sana ada Pak Jusuf Kalla. Beliau mengenalkan saya ke Pak Jusuf Kalla dan bilang, ini Hening yang akan bantu mengurus kampanye. Setelah pertemuan selesai, saya protes ke Mbak Emmy. “Mbak ini pekerjaan berat, lha saya nggak paham isunya.”

“Sudah kamu pasti bisa, ini lebih ringan dari pekerjaanmu di WALHI,” katanya. Mulai saat itulah saya berkenalan dengan Kak Liang, Bu Widya dan Mbak Avanti mengurus kampanye komodo. 

Begitulah Mbak Emmy selalu menjebloskan saya ke banyak hal yang saya sendiri sering merasa takjub, bingung dan bahkan sering merasa tak mampu. Namun cara beliau menjeboskan saya ke banyak hal kusadari bahwa itu adalah cara unik mengkader diriku.  

Saya bangga dan bersyukur pada akhirnya, beliau adalah guru yang baik. Saya banyak belajar cara berkampanye dan membawa isu ke publik, kemampuan advokasi saya terasah, saya belajar memahami isu lingkungan dan politik, saya belajar bagaimana berpihak pada rakyat kecil dan banyak lagi. Bahkan saat kampanye Moratorium Logging di masa Direkturnya Bang Longgena Ginting, saya merasa bahwa ilmu zaman Mbak Emmy sangat jitu. Karena sukses membawa isi Moratorium Logging sampai Presiden Megawati. 

Menjelang akhir periode beliau, teman-teman seangkatan saya menjadi manajer. Tiba-tiba saya mendapatkan jabatan bernama Asisten Direktur Bidang Humas dan Media. Saya senyum-senyum dengan jabatan itu, bukan puas, namun merasa ini mah jabatan yang diada-adakan agar saya tetap dekat Mbak Emmy. Tak apalah, pikirku. Kang Elyasa Darwis adalah sahabat yang sering ke WALHI dan kami sering ketawa-ketiwi kalau membahas jabatan ini.

Saat mengurus media dan komunikasi publik, saya juga menemani Mas IGG Maha Adi menulis “Sejarah Gerakan Lingkungan”, di situ saya berkomunikasi dengan banyak orang dan mendapatkan cerita karena menghubungi banyak pendiri WALHI dan banyak tokoh lingkungan, mulai dari George Aditjondro, Pak Emil Salim, Mbak Erna, Sam Bimbo dan banyak lagi. Cerita gerakan lingkungan selalu menarik. Alhasil ketertarikanku pada gerakan membawaku untuk belajar di INSIST di bawah almarhum Masyur Faqih.  

Hal yang menurutku menyebalkan juga adalah saat mendapat tugas menjadi Ketua Panitia Ulang Tahun WALHI. Tugas ini kupandang menyebalkan saat itu karena harus minta dana ke banyak alumni WALHI, namun hikmahnya lagi-lagi saya menjadi kenal banyak orang dan jaringan sehingga tak jarang saya menjadi penghubung antara senior WALHI dengan WALHI jaman now. 

Begitulah Mbak Emmy, kita punya perasaan jengkel saat itu, kita merasa sangat kerja keras, kita merasa bahwa ini nggak adil, namun ternyata beliau mendidik kita dengan keras dan itu membuat nama Mbak Emmy melekat erat di hati saya dan kawan-kawan.

Membicarakan Mbak Emmy adalah membicarakan sosok yang tiada habisnya karena unik, cerdas dan kontroversial. Bagi saya dan kawan-kawan ABLEH (Anak Buah Langsung Emmy Hafild) membicarakan beliau selalu akan berakhir dengan tawa. Mbak Emmy adalah sosok yang tahu bagaimana melihat kelebihan dan kelemahan anak didiknya sehingga akan menjadi ‘seseorang’ di masa depan. 

Mbak Emmy yang penuh solidaritas

Mbak Emmy dan beberapa kawan datang ke rumahku di Duren Sawit beberapa hari setelah suamiku meninggal, setelah itu berkali-kali beliau menanyakan di mana saya bekerja dan apakah gaji saya cukup buat biaya anak-anak saya.

Beliau sangat perhatian pada hal-hal kecil. Juga saat saya hamil (dua kali saya hamil, kedua anak saya lahir, saat saya bekerja di WALHI), maka beliau selalu berbagi makanan.

Kebetulan Mbak Emmy hamil Radinka dan saya hamil Alif, sharing bekal makanan sering terjadi. Tak hanya itu saat saya kena Covid-19 di awal Januari 2021, Mbak Emmy adalah sosok yang rajin telepon menanyakan kabar dan menanyakan saya mau apa, dikirimi apa. Mbak Emmy menunjukkan sisi kemanusiaannya dan kelembutan hatinya tanpa berkoar-koar. 

Ada kejadian lucu. Pernah suatu hari saya dan beberapa kawan WALHI menjenguk Mbak Emmy di RS saat beliau opname, dan kita sudah merancang agar nanti kita diam, baca doa dan tidak banyak bicara. Namun setelah sampai kamar beliau, justru Mbak Emmy yang paling banyak bicara, menasihati kami sampai kami pulang. Setelah ke luar ruangan RS kami tertawa-tawa melihat keunikan Mbak Emmy.

Mbak Emmy, legenda dalam bidang lingkungan 

Saya, kawan-kawan yang pernah sekantor, kawan-kawan eksekutif daerah dan kawan-kawan yang mempunyai interaksi langsung dengan beliau pasti mempunyai banyak kenangan yang unik dan menarik. Semua sepakat kalau kita bilang Mbak Emmy adalah sosok pejuang lingkungan yang konsisten dan teguh dalam pendirian. Terlepas dari kontroversinya, beliau adalah seorang legenda dalam hal lingkungan hidup.

Penghargaan Heroes of Planet itu hanya salah satunya, namun penghargaan terbesar beliau adalah mengisi jiwa-jiwa kita semua untuk memahami isu lingkungan dan terus memperjuangannya dengan cara kita masing-masing.

Beliau menanam saham sangat besar pada jiwa-jiwa aktivis WALHI dan mungkin aktivis lainnya di seluruh Indonesia yang dalam setiap jejak langkahnya akan menjadi buliran amal jariah yang mengalir terus menerangi alam barunya. 

Selamat jalan Mbak Emmy,  
Selamat kembali ke pangkuan Illahi Robbi dalam damai dan bahagia,
Maafkan kami kemarin yang tak berhenti menangisimu, 
Kami mencintaimu selalu,
Al Fatihah 

Jogjakarta, 4 Juli 2021

*Hening Parlan, alumni WALHI Angkatan 1998 – 2013 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article