Sabtu, Mei 4, 2024

Empat level pemetaan untuk mengukur kompetensi guru di era digital

Must read

Literasi digital merupakan keterampilan seseorang secara teknis untuk menggunakan, mengakses, memahami, dan merangkai informasi yang diterima serta menyebarkan informasi yang telah diproses kepada khalayak melalui media digital.

Kemampuan literasi digital ini sangat dibutuhkan, termasuk saat masa pandemi Covid-19 yang telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk di sektor pendidikan.

Anggota DPR RI 2014-2019, Amelia Anggraini mengatakan transformasi digitalisasi pendidikan di Indonesia mendapat akselerasi dari wabah Covid-19. Hal tersebut mengubah metode belajar dari tatap muka ke sistem dalam jaringan.

Amelia mengungkapkan, transformasi digiitalisasi pendidikan ini memunculkan banyak persoalan. Salah satunya, yakni kurangnya kompetensi. Menurut Amelia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut 60 persen guru di tanah air belum menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian juga persoalan lain, berupa lemahnya budaya membaca.

Amelia berpendapat, merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah menyebabkan generasi muda mudah terjebak pada berita hoaks.

“Permasalahan lainnya, orang yang mengakses terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25.000 orang dari data tahun 2017,” katanya dalam webinar literasi digital dengan tema ”Mewujudkan Pendidikan Ideal Menghadapi Era Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (2/12/2021).

Kemendikbud sendiri telah melakukan pemetaan kompetensi guru terhadap pemanfaatan teknologi kepada 28.000 guru menggunakan sistem yang diterapkan United Nations Education. Pemetaan itu membedakan empat level yang digunakan untuk mengukur kompetensi guru.

Level pertama, yakni literasi teknologi informasi komunikasi, kemudian ketika guru sudah mampu mengoperasikan dan mengaplikasikannya mudah, lalu level ketika guru sudah bisa membuat konten sendiri, dan level guru sudah mampu menjadi trainer. ”Hasilnya, hanya 46 persen yang lulus level 1. Artinya, yang menguasai teknologi level dasar masih di bawah 50 persen,” kata Amelia.

Untuk itu, ia menyarankan strategi gerakan literasi digital di sekolah, yakni digitalisasi sekolah harus dikembangkan sebagai mekanisme pembelajaran terintegrasi dalam kurikulum atau setidaknya terkoneksi dengan sistem belajar mengajar.

Kemudian, siswa perlu ditingkatkan keterampilannya dan guru perlu ditingkatkan pengetahuan dan kreativitasnya dalam proses pengajaran literasi digital. “Kepala sekolah pun perlu memfasilitasi guru atau tenaga kependidikan dalam mengembangkan budaya literasi digital sekolah,” ujarnya.

Narasumber lainnya, Dosen UII Yogo Dwi Prasetyo lebih menekankan pada penggunaan etika digital dalam proses belajar mengajar. Etika digital ini berupa percakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mencari, mengevaluasi, membuat dan mengkomunikasikan konten atau informasi digital.

Yogo mencontohkan, etika siswa bisa berupa dalam menghubungi guru dengan memperhatikan waktu pengiriman pesan, menggunakan bahasa yang baik dan benar, dimulai dengan sapa, dan menulis identitas.

“Kemudian menuliskan keperluan dengan jelas dan singkat, mengucapan maaf untuk kerendahan hati, dan mengakhiri pesan dengan ucapan terima kasih,” ucapnya.

Dipandu moderator Nabila Nadjib, webinar yang diikuti sekitar 179 peserta kali ini juga menghadirkan narasumber lain yakni Andi Sutyawan (Trainer Matematika Nasional), dan Anchor, Suci Patia, selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article