Jumat, Mei 3, 2024

Leadership, memuliakan manusia

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Creating More Human Value

The modern enterprise is a human and social organization. Management as a discipline and as a practice deals with human and social values,” Peter F. Drucker.

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Kalangan cendekiawan dan ulama mengatakan, sebagian orang sibuk beragama tapi melupakan Tuhan. Memaksakan kehendak, mengangkat diri dengan merendahkan orang lain. Ada juga orang-orang yang cenderung melupakan harkat kemanusiaannya sendiri, demi mengabdi pada mesin, partai politik, jabatan, target bisnis, ketenaran di media sosial, dan tepuk tangan sementara.

Dengan segala atribut dan jabatan yang melekat pada diri mereka, manusia ternyata masih ada yang belum tentu mengenal diri sendiri dengan baik.

Lantas mereka beranggapan orang lain adalah diri mereka, sehingga orang lain yang tidak pas dengan mereka, tidak mereka hormati sebagai mahluk setara. Mereka seperti beragama tanpa ber-Tuhan – bukankah Tuhan memuliakan manusia?

Di lingkungan organisasi bisnis, masih saja ada pengelola usaha dan business owner belum berkenan mengerahkan upaya optimal untuk mengenal umat manusia, pelanggan mereka, secara mendalam. Kenalnya baru permukaan. Apa yang kemudian terjadi? Produk atau jasa mereka kemudian diterima customer dengan nilai di bawah yang diharapkan. Keluhan datang bertubi-tubi.

Itu sesungguhnya merupakan symptom saja dari persoalan yang lebih mendasar, yaitu para bos masih perlu belajar lagi untuk memahami manusia – diri sendiri, tim mereka, dan para pelanggan. Sering terjadi, tim penjualan dan hubungan pelanggan menghadapi pasar yang sangat kompetitif sekarang dengan bekal minim, ibarat tentara diberangkatkan bertempur dengan mental dan skills, serta kompetensi yang kurang fit. Anda bisa bayangkan akibatnya. Barangkali Anda pernah jadi korban?

Dalam proyek-proyek di sektor publik dan swasta, faktor manusia juga masih sering diabaikan. Cerita yang dapat kita temui umumnya seperti ini: proyek selesai molor waktunya, membengkak anggarannya, kualitasnya (dalam sejumlah kasus) bahkan ter-compromised.

Itu indikasi para pimpinan organisasi swasta dan institusi publik masih berpaku pada pola pikir lama. Diawali dengan definisi dan pemahaman yang tidak tepat tentang proyek. Kegiatan-kegiatan yang masih melekat pada operasional sehari-hari, termasuk continuous improvement, mereka sebut proyek.

Maka di kebanyakan organisasi ada sederet proyek manajer, menangani sejumlah besar “proyek” – akibatnya unmanageable.

Beban birokrasi dan ongkos-ongkos tambahan, sebagai konsekuensi menerapkan project management techniques untuk banyak kegiatan, plus pembentukan komite-komite governance (yang sesungguhnya tidak diperlukan), dapat menjebak organisasi berhadapan dengan sejumlah urusan yang kompleks, pelik.

Kecenderungan di kebanyakan organisasi, dalam setiap proyek juga banjir istilah-istilah teknis dan kalimat-kalimat ruwet yang sulit dipahami semua anggota tim. Maka tim pun kurang engaged, proyek rampung melampaui tenggat waktu, bahkan ada yang tidak terselesaikan, mangkrak.

Para pemilik proyek tenggelam dalam kalkulasi matematis, anggaran, data teknis, langkah-langkah taktis, lantas menomorduakan faktor manusia.

Padahal proyek, yang berbeda karakter dan penanganannya dengan kegiatan operasional, belakangan sudah menjadi norma baru untuk melahirkan manfaat (value) bagi para pemangku kepentingan dan, kalau di lingkungan perusahaan, diandalkan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis. Semua itu manusia yang bisa mengendalikan, bukan mesin.

Project based work sebagai penggerak ekonomi berpusat pada manusia, kata Antonio Nieto Rodriguez, praktisi, visiting professor Duke Corporate Education, dan penulis buku The Project Revolution (2019).

Dalam salah satu pelatihannya yang saya ikuti, Antonio Rodriguez antara lain mengatakan, belakangan terjadi massive silent disruption yang memberikan dampak signifikan pada sukses organisasi dan para profesional.

Disrupsi tersebut berupa terjadinya pergerakan (di mana-mana) untuk mendorong perubahan dan membangun nilai dengan menerapkan project based work. Mulai hari ini, perkembangan karir profesional seseorang bisa merupakan sekuen dari proyek. Semua itu human centric, focus on people, katanya. “Project revolution driven by people.”

Aspek kepemimpinan sangat diperlukan. Maka ada Project Management Leadership.

Ketrampilan manajerial, skill dalam keuangan, operasional, sales, efisiensi produksi, tidak akan pernah memadai untuk memperbaiki keadaan organisasi, apalagi untuk mengembangkannya – lebih lagi dalam kondisi sekarang saat pandemi.

Semua ketrampilan itu mesti diimbangi dengan leadership, soft skills untuk memimpin manusia, mampu membangun self-mastery sehingga layak menjadi teladan, mengembangkan komunikasi efektif, memimpin perubahan, membangun budaya baru. Lebih penting lagi, mampu mengelola ketidakpastian – managing uncertainty.

Revenue yang merosot dan tim yang belum bisa berkolaborasi antar unit, itu hanya symptom, gejala permukaan dari persoalan yang lebih mendalam di organisasi.

Kalau Anda hanya melatih tim agar lebih hebat dalam sales, tapi tidak ada perubahan dalam perilaku kepemimpinan para eksekutif, itu hanya band aid solution. Solusi permukaan, sementara, dan tidak tahan lama.

Survei Hay Group, perusahaan konsultan manajemen global yang didirikan pada 1943 di Philadelphia, AS, mengungkapkan bahwa leaders drive culture dan performance. Perilaku kepemimpinan para eksekutif memberikan pengaruh 50–70% pada budaya organisasi.

Budaya organisasi memberikan positive impact rata-rata 35% pada performance – ini terbaca pada laporan Laba & Rugi, Balance Sheet, dan engagement tim. Sedangkan 65% lainnya yang mempengaruhi kinerja organisasi merupakan gabungan dari lima atau enam faktor, termasuk di antaranya brand yang kuat, kondisi makro, regulasi, permodalan.

Perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar pada performance. Jack Welch, CEO General Electric yang legendaris, pernah mengatakan, organizational culture is a lasting sustainable competitive advantage.

Kepemimpinan efektif dan budaya organisasi, sebagaimana terbukti di organisasi-organisasi berprestasi hebat (dengan business size yang barvariasi, termasuk di institusi pemerintahan) di pelbagai negara, sangat ditentukan sikap rendah hati, keterbukaan, dan disiplin para leader mereka untuk terus mengembangkan diri. Melibatkan para stakeholder, inklusif, menghormati perbedaan, mengangkat harkat manusia. Leadership dan manajemen modern itu nguwongke, kata orang Yogya.

Mohamad Cholid adalah

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article