Jumat, April 26, 2024

Membelah Bumi, membangun adab dan bahagia

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Soil for Soul

Kolom Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Setiap orang dari kita memiliki percakapan-percakapannya sendiri dengan Bumi – dan punya keunikan pribadi dalam berdialog dengan Penciptanya, Pemilik Dunia dan Akhirat. Masing-masing orang juga memiliki repertoire-nya di panggung kehidupan ini.

Itulah yang dilakukan Nur Agis Aulia, kelahiran Serang 21 April 1989, sarjana Fisipol Universitas Gajah Mada berpredikat cum laude, IPK 3,75. Sebagai lulusan terbaik, Agis waktu itu mendapatkan tawaran kerja di sebuah BUMN. Tapi ia tolak. Orang tuanya pun masgul, karena banyak orang ingin kerja di BUMN Agis malah tidak mau. Ia memilih jadi petani.

Sempat terjadi ketegangan dengan orang tuanya, yang menginginkan Agis bekerja di perusahaan besar yang mapan dan nyaman. Agis minta waktu dua tahun, untuk membuktikan pilihannya merupakan langkah terbaik. Kalau dalam dua tahun gagal, dia bersedia jadi pegawai di perusahaan.

Sebelum dua tahun, Agis berhasil memperlihatkan hasil menggembirakan. Menjadi petani dan peternak juga bisa keren, berpenghasilan di atas rata-rata manajer di BUMN. Ia memimpin proyek integrated farm NAPOLi FARM dan jadi CEO Jawara Banten Farm, Co-Founder Komunitas Banten Bangun Desa. Bisnisnya telah meliputi bidang usaha pertanian, peternakan (sapi perah kambing aqiqah dan qurban), serta perikanan

Agis telah mematahkan pola pikir lama yang menjadi candu — atau ilusi — bagi banyak anak muda. Orang-orang yang mengaku milenial tapi pola pikir dan perilakunya seperti umumnya generasi kolonial – lulus universitas, jadi sarjana, lalu melamar kerja di organisasi besar. Di antara mereka kadang tercetus khayalan yang memprihatinkan. Misalnya, kerja di BUMN atau pemerintahan supaya kelak dapat pensiun pada hari tua.

Dalam usia 31 tahun sekarang, Agis telah berdialog secara mendalam dan kreatif dengan Bumi tempatnya berpijak. Leadership-nya terasah oleh interaksinya yang intens dengan para petani dan sejumlah anak muda lainnya yang ia rangkul membangun kehidupan di desa, di antara aroma tanah yang merekah dan bau keringat kambing-kambing, serta sapi perah.

Dalam Bahasa Arab, petani disebut Al-fallah, membelah tanah, menanam benih, menghasilkan kebahagiaan — falah. Tanpa petani, apakah masyarakat bisa mendapatkan pasokan makanan? Bagi Agis, “Petani juga merupakan profesi yang dapat menjadi ladang amal jariyah.” Itu profesi mulia.

Photo by Cottonbro from Pexels

Agar para petani merdeka dari tengkulak (bisa jadi juga rentenir), Agis mengubah kebiasaan lama petani. Dengan mengatur pola cashflow keuangan yang lebih sehat. Bersama dengan tim, Agis membentuk pertanian, perikanan, dan peternakan terpadu. Pemasaran langsung ke konsumen melalui media sosial, jaringan, sistem reseller, dan lainnya. Dengan pemasukan lebih dari satu sumber dan keuangan yang tertata, petani bisa lebih sejahtera hidupnya, katanya.

Keteguhan hati mematahkan mitos, lantas jadi petani dengan penghasilan melebihi para manajer BUMN, juga dikerjakan Abdul Qohar dari Lamongan. Penghasilannya puluhan juta rupiah setiap bulannya. Abdul Qohar telah berhijrah ke budidaya tanaman pepaya Calina di lahan kering dan tandus yang biasanya hanya ditanami tembakau atau jagung.

Keberaniannya memilih pepaya sebagai sumber utama hasil kebun dan menggunakan lahan kering, sempat diolok-olok warga di sekitar lokasinya — bahkan sempat diledek ‘gila’. Selain penjualan pepaya dianggap kurang memberikan kepastian, tanaman tersebut umumnya juga membutuhkan lahan yang subur dengan jumlah air yang cukup banyak.

Qohar berhasil membuktikan, budidaya pepaya Calina sangat menguntungkan dan mudah  dilakukan karena papaya jenis ini dapat hidup dengan baik di lahan kering sekalipun. Pada saat dewasa, Calina bisa dipanen hingga dua kali dalam seminggu.

Lamongan belakangan dikenal sebagai salah satu penghasil pepaya yang penting di Jawa Timur. Ini merupakan bagian dari hasil kerja keras Qohar melalui kelompok tani Godong Ijo Sejahtera, yang juga telah menjalin kemitraan dengan distributor buah-buahan.

Jumlah anggota kelompok tani tersebut telah menyebar ke beberapa desa tetangga. Sejak empat tahun lalu, total kebun pepaya Calina di Kabupaten Lamongan seluas 15 hektar. Dalam satu hektar bisa ditanam 1500-an pohon. Pendapatan per hektar rata-rata mencapai Rp18-20 juta.

Bertani secara profesional, selalu mau belajar dan memperbaiki diri, juga menjadi pilihan I Gusti Made Dwiadya. Saat merintis sistem hidroponik, modal yang dikeluarkannya Rp 10 juta. Dari tanaman produk Rumah Bali Hidroponik – yang menghasilkan antara lain wortel, jambu, jagung — Dwiadya kemudian memperoleh pemasukan sekitar Rp 50 juta per bulan. Itu di luar jasa pemasangan instalasi hidroponik.

Ia belajar bertanam hidroponik secara detil saat masih di dalam penjara, selama dua tahun. Pilihan menjadi petani merupakan langkah terbaik. Di tengah masyarakat yang masih mudah terjebak dalam stigma, mantan narapidana umumnya mengalami kesulitan mendapatkan perkerjaan yang layak di kantoran.

Hasil kebun hidroponik Dwiadya telah lulus uji di laboratorium Dinas Ketahanan Pangan Sulawesi Tenggara dan aman untuk dikonsumsi. Produknya sudah mendominasi pasar di Kendari dan sekitarnya, dari rumah tangga sampai untuk restoran dan rumah makan.

Al-fallah. Akrablah dengan Bumi di sekitar kita sendiri, belah, tanam benih, dan raih kebahagiaan. Itu menjadi repertoire yang menghasilkan positive impact bagi kemanusiaan.

Repertoire yang dihasilkan melalui persahabatan dengan Bumi oleh manusia-manusia yang mengolahnya dengan baik, yang belum disebut di sini, ada di sejumlah daerah. Produknya sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Dalam format dan setting yang barangkali lebih advance juga sudah tumbuh, antara lain dikerjakan Helianti Hilman.

Ketika mendirikan PT Kampung Kearifan Indonesia (Javara), 2008, Helianti Hilman menancapkan misi ini: Lebih dari bisnis, melestarikan pertanian dan produk pangan asli Indonesia berbasis komunitas.

“Fokus kami adalah menghidupkan kembali pangan terlupakan (forgotten food), apalagi keanekaragaman pangan dan hayati di Indonesia itu sangat luas, sayang kalau tidak dimanfaatkan,” kata Helianti, mantan CEO yang kini sebagai Executive Chairperson untuk Branding and New Initiatives Javara.

Javara bekerjasama dengan petani lokal dari seluruh penjuru Indonesia. Pada 2020 ini ada sekitar 52 ribu petani dari Aceh hingga Papua yang terlibat dan sedikitnya 900 jenis produk organik yang dipasarkan. Produk yang ditawarkan mulai dari beras dan biji-bijian, tepung bebas gula, gourmet noodleartisanal gourmet salt, minyak kelapa, healthy snack, selai, gula kelapa, rempah-rempah, bumbu, sampai kacang-kacangan.

Sebagaimana diceritakannya ke Majalah SWA, tahun pertama Javara masuk ke supermarket premium di Jakarta. Namun, pasar masih belum merespon positif, sehingga produknya lebih banyak diekspor (80%). Baru pada 2014, Javara mulai disambut pasar lokal karena banyak media internasional yang mengangkat keunikannya. Setelah itu, pasarnya melebar. Dari sebelumnya dikonsumsi 55 tahun ke atas, kini 60% berusia di bawah 35 tahun. Segmen yang makin peduli tren hidup sehat dan mengapresiasi makanan lokal.

Helianti, dulu konsultan untuk Rural Economy Development Bank Dunia, sangat terlatih dalam mengembangkan human relationship dengan stakeholder. Mereka bukan orang yang terbiasa mendengarkan presentasi dan semacamnya. “Ketika berinteraksi dengan orang-orang pedalaman, contohnya orang Papua, jangan datang dengan agenda. Datanglah dengan mengosongkan diri. Kita harus mendengarkan dan memecahkan apa masalah mereka,” katanya.

Apakah perjalanannya mulus? Ternyata tidak juga. “Javara pernah nyaris bangkrut. Saat kami mengalami masa-masa sulit itu, saya selalu ingat muka-muka petani, nelayan, dan pekerja hulu lainnya yang sudah diberdayakan.” Itulah pentingnya calling, panggilan jiwa, untuk berkontribusi sosial. Agar dapat mengatasi kesulitan apa pun dan bangkit kembali.

Dari cerita Agis di Banten, Abdul Qohar di Lamongan, I Gusti Made Dwiadya di Sulawesi Tenggara, serta Helianti Hilman yang menebar dan mengembangkan benih kebahagiaan bagi para petani dari Aceh sampai Papua, kita dapat belajar minimal tiga hal.

Pertama, pengelolaan Bumi yang bersahabat ternyata lebih banyak menghasilkan manfaat, untuk diri kita dan orang-orang lain. Kedua, ketahanan pangan galibnya tergantung pada kemampuan leadership di sektor pangan. Kalau orang-orang dengan keuletan dan kreativitas seperti Agis, Qohar, Made Dwiadya, ada di setiap desa, minimal kecamatan, di seluruh Indonesia, serta lebih banyak lagi wiraswasta seperti Helianti, kekuatan pangan nasional, dengan izin Tuhan, dapat diwujudkan dengan lebih baik.

Ketiga, leadership is a contact sport, seperti kata Marshall Goldsmith, coach para eksekutif kelas dunia. Untuk menjadi pemimpin efektif, kita perlu berinteraksi secara intensif dan positif dengan para stakeholder, secara berkesinambungan, terstruktur, dan terukur.  

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article