Minggu, April 28, 2024

Orang-orang yang membangun rumah di atas buih

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Lead for Good

Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Kapal selam kelas Typhoon Soviet merupakan sarana perang bawah laut yang canggih di dunia. Panjangnya 175 meter, bisa menampung 160 personel, mampu menyelam 120 hari lebih jika diperlukan, sebagai persiapan kalau terjadi perang nuklir. Dilengkapi 20 misil balistik (SLBM) berkepala nuklir yang bila diluncurkan ke New York dapat meratakan kota megah itu dengan tanah. Dari 1981 sampai sekarang kapal selam kelas Typhoon masih diaktifkan AL Russia.

Pada November 1984 Kapten Marko Ramius mendapat tugas memimpin Red October, kapal selam kelas Typhoon yang baru selesai dibuat, dilengkapi caterpillar drive sehingga dapat bergerak dengan senyap, tanpa dapat dideteksi, seperti pesawat stealth. Kapten Ramius diminta melaksanakan latihan di bawah laut bersama Konovalov, kapal selam penyerang kelas Alfa, yang dipimpin Kapten Tupolev, dulu dilatih Ramius.

Rencana latihan tersebut berubah. Dalam film The Hunt for Red October (1990) diceritakan, Panglima Angkatan Laut Soviet memerintahkan Kapten Tupolev – bersama sejumlah kapal selam lain – sama-sama memburu Kapten Ramius. Tugas mereka adalah menghancurkan Red October. Karena Kapten Ramius mau membelot ke AS – sebagaimana ditulis Ramius dalam suratnya kepada Admiral Yuri Ilyich Padorin, Chief political officer AL Soviet, paman istrinya dan juga mentornya.

Alasan resmi Kapten Ramius adalah mencegah Soviet menggunakan Red October untuk memicu perang nuklir melawan AS. Dalam periode Perang Dingin tersebut, pembelotan dengan membawa kapal selam tercanggih plus sejumlah perwira pilihan, menjadi teror besar bagi Pemerintah Soviet.  

Alasan pribadinya? Ramius (diperankan Sean Connery) mencurahkan uneg-unegnya kepada Kapten Second Rank Vasily Borodin (Sam Neill), executive officer Red October. Sembari rebahan di sofa dalam kabinnya, Ramius mengatakan: “Selama 40 tahun saya berada di laut. Perang di laut. Perang tanpa pertempuran. Tanpa monumen, hanya ada korban.” Pernikahannya hanya dinikmatinya dalam sehari, karena esoknya Ramius harus bertugas lagi.

Novel The Hunt for Red October ditulis Tom Clancy berdasarkan inspirasi dari hasil riset atas dua kasus pembangkangan terhadap penguasa Soviet yang otoriter dan korup.

Sikap Ramius menggambarkan penentuan pilihan untuk bebas dari kungkungan ilusi kekuasaan komunisme, di mana nyaris seluruh aspek kehidupan dikendalikan oleh Polit Biro Partai. Perang Dingin memang seperti perang dalam diam – dan kasak-kusuk — beberapa puluh tahun, tanpa pertempuran. Tidak ada front fisik langsung bagi dua kekuatan besar, Soviet (bersama kelompoknya) dan AS (plus sekutunya) – kecuali di negara proxy masing-masing.

Belakangan ini di Indonesia yang terjadi malah perkara sebaliknya dari yang dikatakan Kapten Ramius. Di negeri ini tidak ada perang apa pun, tapi “pertempuran” ada di mana-mana. Sejumlah tokoh publik yang selama ini kita kenal berprestasi hebat di bidang masing-masing, dengan reputasi yang baik, sama-sama saling menyerang, dengan mitraliur kata-kata. Masing-masing seperti ingin membangun monumen kebenaran, menurut versi sendiri-sendiri.

Kita sudah terpolarisasi. Pertempuran antara para tokoh publik makin melebarkan celah pemisah antara sesama anak bangsa. Setiap pihak ngotot menegakkan monumen keyakinannya, tanpa mau melihat perspektif yang berbeda.

Mereka seperti tidak peduli dampaknya. Kerugian paling utama adalah penghamburan resources – kecerdasan dan waktu. Publik mungkin saja bertepuk tangan atas semua “tontonan” adu pengaruh tersebut.

Tapi mau sampai kapan masyarakat mendapatkan sajian distraktif, yang sesungguhnya menggerogoti waktu mereka sehingga berkuranglah kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting bagi kehidupan? Ini bisa jadi salah satu penyebab bangsa sulit untuk maju.

Perilaku counterproductive dari kalangan orang yang sepatutnya jadi panutan publik tersebut bisa saja tidak diniatkan untuk bertindak keji. Itu semua hanya mengungkapkan uneg-uneg dan, dalam Bahasa Inggris ada istilah, “Damn the consequences!

Konsekuensi akibat omongan (dan perbuatan) mereka tidak masuk dalam hitungan – bahkan saat imbasnya ikut memperburuk keadaan ekonomi, merusak kohesi sosial, dan memperkeruh keadaan.

Mereka itu, menurut Dr. Marshall Goldsmith, executive coach # 1 di dunia, bisa masuk golongan orang yang sering making statement to upgrade themselves, often at the expense of other. Tabiat semacam ini disebut “creating false positive”.

Kalau kita renungkan sebentar, bukankah perilaku semacam itu juga melanda banyak orang di sekitar kita, yang merasa dirinya pemimpin, walaupun sebenarnya sekadar pimpinan jawatan yang ditunjuk, bukan sebagai prestasi? Bukankah kita sendiri juga tentunya pernah atau lebih dari sekali terlibat dalam perkara “merasa lebih (baik, benar, ….) ketimbang orang lain”?

Ada kecenderungan utamanya di kalangan orang pintar, sukses, dan punya pengaruh, senang kalau punya banyak front, lantas sibuk melakukan pertempuran di sana-sini – kendati kita tidak dalam masa perang.

Untuk membuktikan diri mereka tetap eksis, maunya menang di setiap lini dan pada tiap tikungan kehidupan. Bahkan sebagai upaya memperlihatkan diri memiliki moral superiority, kalau perlu menyetir dan mengontrol hidup orang lain.

Tampaknya benar ujaran management guru kelas dunia Peter F. Drucker sekian tahun silam, “Half the leaders I have met don’t need to learn what to do. They need to learn what to stop.

Bagi orang-orang (yang pernah) sukses – di bidang ekonomi, bisnis, politik, sosial, agama, budaya — untuk menahan diri dan mengelola ego sering menjadi perkara besar. Dengan sedikit pemicu, ego tersebut sering langsung menggelembung, dan keluarlah kata-kata dan perbuatan yang mungkin kurang patut tapi membuat publik (pendukungnya) tepuk tangan – tapi apakah itu dapat memberikan kontribusi positif bagi kehidupan bersama?

man holding drum
Jordan Donaldson, Unsplash

Ego pribadi tersebut menjadi makin sulit dikendalikan ketika berkembang jadi ego (atau “pegangan hidup baru”) kelompok, yang demikian mudah tergelincir mengkultuskan pribadi sang tokoh. Situasi itu, sebagaimana kata kalangan ulama, “seperti membangunkan rumah di atas buih ombak” bagi si tokoh. Berayun di atas gemuruh pemujaan pribadi, yang sebenarnya setiap saat bisa terempas.

Hitler, Stalin, dan Mao Zedong (utamanya pada periode Revolusi Kebudayaan) adalah sebagian contoh dari kepemimpinan yang berpijak pada mobilisasi masa, penyeragaman pikiran, monopoli kebenaran, dan pemujaan individu. Mereka membutakan kecerdasan dan mata hati bangsanya.

Sudikah Tuan-Tuan dan Puan-Puan yang hobi bertempur di arena publik untuk sedikit berendah hati, membuka dialog demi kehidupan berbangsa secara lebih baik? Saat Anda meninggal, yang Anda sendiri tidak tahu kapan, apakah akan membawa luka jiwa masyarakat yang jadi korban ego Anda ke pemakaman? Tidak inginkah Sampeyan meninggalkan legacy yang indah?

Mohamad Cholid

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article