Senin, Mei 6, 2024

Pemimpin bermaksiat mencatut nama Tuhan?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Beware of war within

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Orang soleh tanpa ilmu cenderung mensifati Tuhan sesuai kepentingan sendiri.” – Gus Baha (K.H. Bahauddin Nursalim).

Ke masjid itu datang seseorang dan dengan keangkuhannya sebagai jagoan setempat, kemudian dia menaruh kakinya di kepala Si Fulan yang tengah sujud. Kita bisa saja terprovokasi, membela yang sujud dan jengkel pada di penginjak. Si Fulan pun bangkit dari sujudnya, lantas memarahi orang yang menginjak kepalanya dengan mengatakan, “Allah tidak akan mengampuni kamu.”

Melihat kejadian tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala lantas menurunkan wahyu kepada Rasulullah Sallallahu ‘alayhi wa sallam untuk menegur Si Fulan. Tidak sepatutnya mencatut nama Allah untuk melampiaskan kemarahan pribadi. Tidak sepatutnya pula Allah disifati hanya sebagai penghukum, tidak diimbangi sebagai Yang Rahman dan Rahim, serta Maha Pemberi Ampunan.

Riwayat tersebut disampaikan (antara lain) oleh K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim, namanya yang viral Gus Baha. Katanya, orang-orang soleh yang ilmunya kurang cenderung mensifati Allah sesuai dengan kemauannya sendiri. Gus Baha, tahun ini memasuki usia 52 tahun, dikenal oleh pelbagai kalangan — yang berbeda usia, golongan politik, dan latar belakang sosial — sebagai salah seorang ulama dengan kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang memungkinkan kandungan Al Qur’an dan tuntunan Rasulullah Sallallahu ‘alayhi wa sallam bisa diajarkannya secara rileks, membumi, dengan dukungan hasil kajian kitab-kitab para ulama masyhur.  

Hari-hari ini, perangai seperti Si Fulan masih ada – kalau tidak mau dikatakan mewabah, bahkan di kalangan orang yang kita kenal berperilaku baik. Mungkin itulah golongan manusia yang betah hidup dalam lorong pikiran sendiri.

Bahkan sebagiannya cenderung mendzalimi diri sendiri, antara lain lewat pengakuan/ucapan “aku terbiasa berpikir konsep, sulit deh rasanya kalau harus itungan-itungan detil….” Atau, “saya ini wiraswasta, eksekutif perusahaan, masak harus belajar lagi meningkatkan kompetensi, bisnis juga sudah jalan kok”. Ada juga yang mirip-mirip ini, “Saya ‘kan sudah eselon dua, S3 pula, masak harus selalu diukur lagi kepemimpinan saya,” dst.nya.

Sekitar 375 B.C.E, dalam bukunya The Republic,  Plato melalui “The allegory of the cave” sudah menggambarkan kecenderungan manusia yang betah dalam pemasungan pikiran semacam itu. Tentang orang-orang yang melihat bayangan-bayangan yang bergerak di dinding gua sebagai “kenyataan”. Ketika seorang diantara mereka berhasil keluar gua, lalu menceritakan realitas dunia kepada kelompok yang masih di gua, orang tersebut dianggap gila.

Profesor Quraish Shihab dalam tausiah Perbedaan Pemikiran: Hukum Islam menyebut kelompok yang menolak membuka pikiran mengelola kenyataan yang berbeda secara cerdas, ibarat orang yang hidup dalam sumur. Bagi golongan ini, keluasan langit hanya terlihat sebatas lubang sumur.

Membangun identitas diri sesuai dengan “cetakan yang ternaman dalam benak” (hasil omongan orang atau prasangka sendiri) dan mencoba eksis berlandaskan programmed identity memang bukan tindakan kriminal, tapi dapat membahayakan kehidupan bersama orang lain. Merugikan semua pihak. Apalagi bagi yang memimpin tim.

Mengubah perilaku dan membangun identitas baru yang lebih baik, menurut orang semacam itu, akan menjadikan “bukan gue lagi dong.” Sikap ini membahayakan. Karena berlawanan dengan hukum alam, bahwa karakter setiap orang dapat dilatih, dikembangkan, seirama dengan tantangan lingkungan kita yang terus berubah.

A shift in your identity doesn’t make you a phony! You are allowed to fill new roles and take on new responsibilities,” kata Marshall Goldsmith, coach para eksekutif kelas dunia, seperti Direktur Bank Dunia dan CEO Ford Motor Company.   

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article