Jumat, Mei 17, 2024

Prostitusi online

Must read

Saya merasa iba dan kasihan dengan artis yang dituduh terlibat prostitusi online di Surabaya dan mendapat ekspose luar biasa. Nama terduga pelaku langsung terkenal sekaligus tercemar – dan media online, televisi dan media cetak, mengekposnya habis habisan karena diduga tertangkap langsung, saat melayani tamunya. 

Sementara itu, identitas laki laki penggunanya masih samar-samar dan bahkan tak jelas. Setidaknya sampai postingan ini dibuat. 

Ada ‘deal’ apakah di antara polisi dan orang yang disebut sebagai pengusaha yang konon telah mem-booking artis sinetron yang bertarif Rp80 juta dan model majalah bertarif Rp25 juta untuk sekali kencan itu? 

Apa tanggapan LSM ‘Indonesia Police Watch’ – yang biasa galak mengawasi kinerja intitusi dan aparat polisi ? Apakah penggerebegan itu bukan aksi pancingan semata, dalam rangka mendapat ‘layanan gratis’ atau kerjasama diam-diam dengan si penyedia jasa?

Di mana para aktivis pembela perempuan dan pejuang kesetaraan gender? 

Terlepas dosa yang dilakukan para pelaku, ada hak perempuan yang harus disetarakan dalam kasus ini. Tindak pelanggaran hukum dan “kejahatan” yang dilakukan oleh para oknum artis, tidak terjadi sendirian. Boleh jadi malah dia korban sindikat, tipu daya germo, dan lain-lain. 

Nampak sekali polisi Polda Jawa Timur, mengobarkan sensasi dalam kegiatan ini. Mencari ‘credit point’ lewat publisitas media. Lebih dari itu, di mana keadilan, dengan hanya menyebutkan pelaku penjual jasa prostitusi artis, sedangkan pembelinya nampak aman-aman saja?

Seperti maling yang tertangkap tangan dan dianiaya massa – hingga babak belur sebegitu rupa – saya tidak mau menambahi penganiayaan kepada para pelaku dengan menyebutkan nama dan identitasnya. Bahkan inisialnya. Namun, saya yakin, Anda semua sudah tahu.

Pixabay

Prostitusi artis sudah ada di Indonesia, sejak dunia hiburan massa marak, yang artinya seusia republik ini. Dunia panggung, dunia artis jelas menawarkan sensasi dan memberikan peluang bagi pelaku dan penonton untuk mengekplorasi berbagai hal di luar kehidupan kesenian yang digelutinya.

Bukan hanya dunia artis kosmopolitan di perkotaan, bahkan penari dan seniman tradisional menjadi sasaran para pria pemburu nafsu purba itu. Sejak zaman Majapahit, seniman ledek, ronggeng, sinden, dianggap punya kerja rangkap sebagai penghibur dan pemuas seks kaum pria. 

Pada awal menjadi wartawan, di tahun 1980-an, heboh buku “Remang-remang Jakarta”, karya Yuyu AN Krisna, jurnalis koran sore Sinar Harapan. Buku itu juga difilmkan, dengan bintang Roy Marten dan Cathy Lengkong. 

Dalam salah satu sorotan di buku peraih Piala Adinegoro itu, diungkap juga prostitusi yang melibatkan artis film dan model majalah, baik untuk keperluan memuluskan proyek, menservis pejabat maupun untuk hiburan bagi pengusaha kaya raya. 

Setelah menjadi wartawan, saya kemudian mengenal nama-nama artis film dan penyanyi kondang yang dulu kerap diisukan “bisa dipakai”, “buka warung” dan “jualan” yang kemudian menjadi wanita alim, dengan hijab atau hidup sebagai warga terhormat. Nama namanya juga menjadi rahasia umum. 

Bahkan ada juga sebagiannya yang jadi isteri konglomerat dan isteri pejabat. Ada juga yang masuk keluarga besar mantan presiden dan wakil presiden.

Antara 1980-an hinga 1990 ada rumah mesum kelas atas (high class) milik Hartono di Jl. Prapanca, Kebayoran Baru. Nyaris dalam setiap ada perhatianan Kapolda Metro Jaya digerebeg, namun bisnis mesum itu terus berlanjut. 

Belakangan diketahui penggerebagen itu hanya “pemberitahuan” kepada siapa selanjutnya pengelola bisnis itu harus “setor” – karena sudah “ganti meja”.

Pelacuran mengatasnamakan artis memang menyedihkan. Para artis yang melacur itu mencemarkan rekan-rekan saya, mereka yang berdedikasi tinggi di dunia film dan musik, yang bekerja setengah mati, di lokasi syuting dan di studio, untuk membuat karya bagus, menghibur masyarakat. 

Para pejuang film seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Niniek L. Karim, Garin Nugroho, Riri Reza, Mira Lesmana, Ernest Prakasa, mencurahkan segenap kemampuannya untuk menampilkan karya terbaik. Kadang beruntung mendapat banyak penonton, namun juga kadang apes, modal yang dicurahkan produser tidak balik. Para artisnya mati-matian menghapal naskah, memainkan peran, riset, latihan, kontemplasi, dan menjadi orang lain. Dan untuk semua, mereka benar-benar bekerja keras. Ekploratif. 

Sedangkan mereka, muncul dengan tubuh molek, menumpang pada dunia gemerlapnya, sepintas, sambil lalu, mencari popularitas, menyandang gelar “artis” lalu memanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri.

(Status Facebook Dimas Supriyanto)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article