Pemicunya tentu bisa dari sejumlah hal. Lingkungan kerja dan kualitas interaksi antar manusia di organisasi, di antaranya perilaku bos yang toxic berkepanjangan, bisa merupakan faktor penyebab yang sepatutnya memperoleh perhatian serius.
Untuk mengatasi gangguan kesehatan mental di organisasi, demi membangun tim yang lebih sehat batinnya dan meningkatkan kinerja, solusinya paling tidak bisa dengan dua intervensi.
Pertama, melalui pelatihan dan coaching di wilayah leadership, dengan pemahaman yang up to date, lazim disebut pengembangan soft skills – walaupun agar sesuai real time on the job bisa sangat hard pelaksanaannya. Ini pelatihan mengembangkan existential flexibility.
Di antaranya: action-oriented decision making; entrepreneurial drive; mengembangkan cohesive community; inclusiveness; technological savvy; embracing change; build cross-cultural relationships; effective communications.
Survei McKinsey belum lama ini membuktikan, kematangan para eksekutif mampu mempraktikkan soft skills tersebut membantu perusahaan masuk kategori agile organization. Mereka lebih sigap menghadapi pelbagai goncangan. Bisa berupa pandemi covid dan kondisi pasar yang terus berubah.
Kedua, intervensi psikologis mengatasi problem kesehatan mental di tempat kerja. Mental health memiliki dampak besar pada produktivitas kerja seseorang. Kondisi mental yang baik membantu individu untuk lebih fokus, terorganisir, dan memiliki energi positif untuk menyelesaikan tugas.
Seperti pada intervensi pertama, solusi yang kedua ini juga perlu investasi. Keduanya sangat diperlukan agar kinerja organisasi lebih kinclong.
Penelitian Deloitte membuktikan, rata-rata estimasi return on investment (ROI) bagi organisasi yang berinvestasi dalam inisiatif kesehatan mental untuk karyawan mereka adalah $5.3 untuk setiap $1 yang dipakai.
Menurut World Health Organization (WHO), setiap $1 yang digunakan untuk meningkatkan inisiatif kesehatan mental, akan ada dampak senilai $4 pada kesehatan dan produktivitas yang lebih baik.
Anda bisa memilih sekarang.