#SeninCoaching
#Leadership Growth: No More Transactional Relationship, Please
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Perjalanan ke luar kota awalnya mendebarkan. Saat aturan sekolah belum ketat, sampai tahun-tahun awal di Sekolah Dasar, saya beberapa kali diajak oleh nenek saya, Mbah Rukayah, bepergian mengunjungi tante saya atau bude-bude, anak-anak dan keponakan Mbah di kota-kota yang berbeda. Di jalan raya kabupaten, ketika menunggu mobil sewaan di depan deretan toko dekat alun-alun, saya melihat kota kami hanya sebatas ujung jalan. Berakhir di barisan pohon-pohon rimbun di ujung pandangan.
Apa yang terjadi sesudah barisan pohon-pohon asam Jawa dan mahoni itu? Apakah mobil yang kami naiki akan menyusup di antara pepohonan tersebut? Pertanyaan itu membuat dada saya berdebar.
Kenyataannya, ujung jalan yang menyempit tersebut tidak pernah ada. Karena jalan raya yang kami tempuh seperti tidak ada akhirnya, tidak menyempit, bahkan sama lebarnya ketika sampai di kota kabupaten lain – yang di kemudian hari saya ketahui jaraknya ratusan kilometer dari kota kabupaten tempat tinggal kami.
Tentu saja itu pengalaman menarik. Karena pandangan yang sama saat berada di kota lain, melihat kanan kiri jalan menyempit ke barisan pepohonan rimbun, kenyataannya “bisa kita tembus” – kan ada jalan raya antar kota.
Perjalanan-perjalanan antar kota dengan Mbah Rukayah memberikan pembelajaran penting bagi saya, yaitu pemahaman bahwa batas pandangan atau perspektif kita selalu dapat kita tembus. Kita bisa melewati perspektif kita, mengetes ulang asumsi-asumsi kita, jika mau dan berani melihat realitas di belahan lain dunia.
Dorongan ini pula yang menyebabkan saya, ketika mahasiswa semester keempat, menjual sepeda motor saya untuk tambahan beasiswa mengikuti seminar internasional di Taiwan, sebulan lebih berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa dari 22 negara.
Ketika kemudian hari bekerja dan berkesempatan dapat tugas-tugas ke pelbagai negara, daya pikat tambahan bagi saya adalah bisa mengenal dan mempelajari kenyataan-kenyataan berbeda di belahan kehidupan lain, di balik batas “jalan menyempit ke popohonan yang rimbun.”
Bukankah pada setiap tahap perjalanan hidup kita akan selalu diminta berani untuk menerobos ambang batas, threshold, utamanya horison pemikiran kita, asumsi-asumsi kita?
Ketika harus memimpin tim, apalagi organisasi besar, kompetensi melampaui ambang batas pola pikir, yang antara lain tercermin dalam perilaku kepemimpinan, merupakan kebutuhan mutlak; kalau tidak, organisasi bisa membeku di satu tempat. Dalam penyelengaraan pemerintahan, situasinya lebih mencemaskan, karena impact-nya bisa mempengaruhi hidup puluhan juta orang.
Faktanya, yang disebut “batas pandangan” itu semu, tidak pernah ada, kecuali dalam khayalan sendiri. Sering disebut limiting belief.
Hari-hari ini, di pelbagai negara di dunia, utamanya saat harus mengatasi krisis akibat pandemi, kita melihat benturan-benturan limiting belief para presiden, perdana menteri, dengan para menteri dan pakar kesehatan masyarakat, serta pejabat publik lainnya. Masyarakat galau.
Di Belanda publik protes, menjadi kerusuhan terburuk dalam 40 tahun terakhir, kata polisi setempat. Pemerintah telah dianggap tidak konsisten dalam mengatasi wabah. Kabinet yang terdiri dari empat partai politik bertengkar melulu tentang prioritas kebijakan di masa pandemi.
Memulihkan ekonomi, atau menjaga hak-hak warga, atau kesehatan masyarakat. PM Mark Rutte tidak mau memaksakan peraturan, dengan alasan Nederland adalah “negeri orang dewasa”, penduduknya akan menolak diperlukan seperti anak-anak.
Di Indonesia, pemerintahan Presiden Jokowi juga tidak bebas dari hambatan, akibat benturan-benturan kepentingan para pejabat publik, ditambah ketidakpatuhan sebagian anggota dan tokoh masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
Setelah Dokter Terawan dicopot, masyarakat kini berharap pada leadership Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin – bekerja sama dengan pihak-pihak lain di dalam dan di luar pemerintahan – dalam mengatasi wabah.
Sekarang ini, semua pihak, utamanya yang sedang jadi atasan di institusi pemerintahan, bisnis, nonprofit, tengah benar-benar menghadapi ujian dalam kepemimpinan mereka.
Pola kepemimpinan roles and rules, seperti yang berlaku di masa lalu, utamanya di organisasi yang feodalistis, ketat dalam hirarki, dan sangat birokratis, sudah waktunya ditanggalkan.
Demikian pula kepemimpinan yang transaksional, sebagaimana masih dapat kita lihat di pelbagai sektor (paling banyak terjadi di wilayah politik), rasanya lebih sering menghasilkan ilusi, sukses semu. Kedua pola kepemimpinan tersebut terbukti tidak efektif, menyebabkan tim kehilangan orientasi dan organisasi tidak berkembang.
Berdasarkan riset selama puluhan tahun di pelbagai institusi mengindikasikan, tim yang efektif akan memberi dukungan kepemimpinan Anda, setara dengan efektivitas Anda memimpin mereka.
Bos yang arogan, cenderung asik dalam cakrawala pemikirannya sendiri, karena merasa ditugasi pemegang saham, atau ditunjuk penguasa, sekarang ini siap atau tidak siap harus berubah – kalau menolak berubah, biasanya gagal atau institusi yang dipimpinnya tidak relavan lagi dengan realitas.
Diperlukan keberanian dan kemauan melangkahi ambang batas, menapak ke pola kepemimpinan yang lebih efektif. Menghadapi realitas-realitas berbeda di balik batasan semu dalam pemikiran.
Tampaknya sederhana, tapi kebanyakan orang mengalami kesulitan melakukannya. Ketika sudah ada keberanian, begitu melewati ambang batas memasuki dimensi realitas baru, tantangan dari internal (diri dan organisasi) serta pihak luar, bisa bermunculan. Kalau dalam kisah-kisah heroik, ada wilayah berat yang mesti dilewati – sering disebut tahapan ordeal, death, or rebirth.
Tapi leadership, dalam kenyataannya, bukan soal heroisme, munculnya superstar yang memiliki kemampuan ekstra. Kepemimpinan sekarang ini, sebagaimana terbukti di sejumlah organisasi yang berhasil bangkit kembali setelah mengalami masa teruk, lebih merupakan bentuk kolaborasi efektif antara atasan dan tim. Didukung sikap rendah hati mengakui kekurangan, terbuka saling membantu – ini perlu emotional courage. Serta kemampuan memimpin perubahan secara terstruktur.
Peran para stakeholder sangat menentukan untuk terlibat dalam prosesnya (ordeal) dan mengukur seorang pemimpin berhasil menjadi lebih efektif, rebirth, atau masih terjebak dalam pelbagai excuses dan alibi – seolah-olah tidur dalam kondisi fisik terjaga. Ini soal pilihan hidup.
Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)
- (https://sccoaching.com/coach/mcholid1)