Sabtu, Mei 18, 2024

Apakah presiden bahagia?

Must read

Safi Bahcall, pada pertengahan 2020 dalam sesi LPR, dengan sederet achievements yang luar biasa, ternyata sempat berjuang keras untuk menentukan skor secara akurat atas upaya terbaiknya menjadi bahagia.

Ia sempat mengkaitkan prestasi dengan kebahagian – orang-orang berprestasi hebat tentunya bahagia; orang bahagia akan mudah meraih prestasi.

Kenyataannya tidak begitu. Achievements dan kebahagian bisa saja saling berhubungan, tapi sesungguhnya itu merupakan dua variabel independen. Fakta membuktikan, banyak orang berprestasi hebat miserable, mengalami depresi berat.

Di dunia olah raga, Michael Phelps, perenang AS peraih 28 medali di Olimpiade, 23 di antaranya emas, dengan kekayaan (2023) diperkirakan US$ 100 juta, ternyata setelah tak lagi berkompetisi hidupnya kacau. Lebih dari sekali dia berurusan dengan polisi akibat ketahuan mengemudi ugal-ugalan, teler.

Para sejawat Michael Phelps, atlet-atlet elite tingkat dunia, juga tidak sedikit yang dilanda problem kesehatan mental gawat. Bahkan ada yang bunuh diri. Film dokumenter HBO Sport The Weight of Gold mengungkapkan rangkaian kepedihan batin yang dialami para atlet berprestasi gemilang.

Di dunia karir dan lingkungan jabatan publik, tak kurang contoh orang-orang berprestasi, berpangkat dan berjabatan tinggi kelihatannya memaksakan diri agar tampak bahagia. Selalu ingin tampil cool di mata publik. Kadang mereka wujudkan melalui kepemilikan mobil-mobil keren dan motor besar mutakhir.

Kita tidak tahu, gaya hidup mewah para perwira bak selebritas tersebut didanai “sponsor” atau dari keluarganya yang tajir. Untuk menopang semua itu, ternyata diantara mereka diberitakan ada indikasi terlibat tindakan ilegal, seperti “mafia tambang”, judi, dan drug trafficking. Sejumlah jenderal terpeleset, kehilangan jabatan, dan jadi tersangka. 

Prestasi dan jabatan bisa berubah jadi jebakan. Di lingkungan bisnis dan institusi lainnya, bahkan lembaga pendidikan dan nonprofit, serta politik, ada sejumlah kasus para CEO dan pemimpin puncak organisasi menjadi korban dari prestasi yang diraih sebelumnya.

Mereka mengalami burn out, stuck, dan tenggelam dalam ayunan pikirannya sendiri, menjauh (secara lahiriah dan batiniah) dari yang mereka pimpin, merugikan pemangku kepentingan.

Orang-orang berprestasi di dunia mereka – seperti para jenderal, peraih medali emas, atau direktur dan CEO, serta para bos politik — tentunya dapat kita percayai memiliki kecerdasan diatas rata-rata dan bekerja keras. Tapi, kenapa saat berada di puncak pada gagal paham untuk berbahagia?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article