Sabtu, Mei 18, 2024

Ilusi kekuasaan raja, presiden, dan proyek

Must read

Dalam berinteraksi dan engaged dengan kesementaraan di dunia, setiap manusia memiliki cara dan pilihan masing-masing. Tidak semua orang memiliki daya tahan mental dan tingkat kesadaran tinggi dalam menyikapi ilusi dan kefanaan tersebut. Tapi sesungguhnya kita diberi peluang memilih.

Dengan keyakinan bahwa berkontribusi positif pada perubahan menuju yang lebih baik merupakan peluang untuk tumbuhnya jiwa, sebagian orang menjalani hidup sebisa mungkin seirama dengan tuntunan Pencipta Alam Semesta. Sesuai dengan interpretasi dan kesanggupan masing-masing. Sebagaimana kata Management Guru Peter Drucker, “Our mission in life should be to make a positive difference, not to prove how smart or right we are.”

Sebagian lainnya memilih membangun keangkuhan dan ilusi kekuasaan, seperti Raja Fulan itu.

Hari-hari ini, upaya manusia menjadi kumoluhur (merasa punya keunggulan) seperti Raja Fulan dapat pula berbentuk penguasaan dan manipulasi perdagangan komoditas, misalnya kedelai dan minyak goreng; monopoli pasokan kebutuhan energi; berebut jabatan penting di pemerintahan, organisasi bisnis, nonprofit dan kekuasaan sebagai raja, bos dinasti politik, kaisar, presiden, atau perdana menteri.

Kalangan ulama, pendeta, dan cendekiawan umumnya mengatakan, sebagian umat manusia bukan lagi sebagai master atas diri masing-masing, tapi mereka sudah jadi sekadar perkakas nafsu politik, muslihat sejarah, kepemilikan benda, dan bayangan semu tentang masa depan. Interaksi intensif antar manusia dari pelbagai ras, suku bangsa, tingkat kecerdasan, posisi geografis, serta identitas spiritual, didukung oleh kemajuan teknologi (termasuk di bidang persenjataan), telah mendorong umat manusia memasuki krisis eksistensial — atau gagal paham ketika harus mendefinisikan ulang Hidup.

Barangkali sebagian dari kita menganggap situasi sekarang seperti krisis humanitas Eropa tahun-tahun menjelang Perang Dunia II, yang dikatakan oleh Heidegger sebagai “the forgetting of being.”

Balakangan ini yang terjadi di masyarakat dan tersiar di media adalah ini: Berniaga cenderung menipu atau cari peluang curang; untuk eksis dalam politik tanpa malu menjilat penguasa dan menyerang pihak yang berbeda; serta dalam berkeagamaan mudah saling mengkafirkan.

Para penguasa suatu wilayah, berbasis pada rationale and business case masing-masing, merasa butuh pula membangun proyek monumental atau bangunan fisik lainnya yang extraordinary, bahkan kadang tanpa memperdulikan para pemangku kepentingan.

Dalam menyikapi muslihat sejarah, setiap penguasa wilayah pada zaman berbeda memiliki proyek masing-masing.

Raja-raja Mesir Kuno sekian ribu tahun silam membangun Pyramid. Yang terbesar, setinggi 138 meter, di Giza, dibangun oleh Khufu (mulai berkuasa sekitar 2551 B.C.). Kemudian kita mengenal Tembok Besar China (Wanli Changcheng), proyek bangunan perlindungan wilayah menghadapi serangan suku-suku bangsa nomad, utamanya dari utara dan sisi barat. Wanli Changcheng dibangun, ditata ulang, direnovasi atas titah para raja dan kaisar dari dinasti-dinasti berbeda — Dinasti Qin, Dinasti Han, Dinasti Sui, Dinasti Tang, Dinasti Song, ….

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article