Senin, Mei 6, 2024

Korban

Must read

Oleh Goenawan Mohamad

Entah berapa abad setelah kisah itu dikabarkan, entah berapa juta kali Kitab Kejadian telah dibaca, orang masih bertanya, mengapa korban persembahan Kain ditolak Tuhan dan yang dari Abil diterima? Apa sulitnya jika Tuhan menerima kedua-duanya? Adakah itu karena Tuhan — selalu dibayangkan secara antropomorfis — lebih menyukai “anak sulung kambing domba dan lemak-lemaknya” ketimbang hasil bumi?

Dalam ritual pengorbanan agama-agama, ada misteri yang terus menerus di sekitar hubungan Ia yang disembah, ia yang menyembah, dan obyek yang dipersembahkan. Saya kira hanya dalam cerita Nabi Ibrahim motif pengorbanan lebih terang: Tuhan bukan meminta tubuh anak itu untuk diri-Nya; Ibrahim diperintahkan untuk melepaskan apa yang paling dikasihinya sebab Tuhan menuntut pengabdian yang total, cinta yang tak mendua.

Tapi tentu saja sejak itu, ritual pengorbanan jadi rutin. Tak ada lagi rasa gundah dan kebingungan mendengar syariat itu lewat pengeras suara para penghotbah. Tak dirasakan lagi situasi yang absurd, yang bertentangan dengan akal, karena harus bertindak yang melampaui batas ethis demi Tuhan. Kini manusia hanya mempersembahkan sesuatu yang tak akrab dengan dirinya, tak dicintainya. Hewan yang disembelih itu tak dikenalnya. Manusia hanya membelinya di pasar seperti mendapatkan benda mati yang bisa dipertukarkan.

Dengan kata lain, apa arti hewan dalam ritual itu kembali tak jelas. Bahkan rasanya ada yang dilupakan: andaikata kita membayangkan hewan secara antropomorfis — bisa marah, sedih, kesakitan, dan merasa ditinggalkan — kita akan makin sadar bahwa dalam ritual yang berdarah itu pengorbanan terbesar datang bukan dari kita, yang akan dapat pahala, melainkan dari mereka, yang harus mati.

Di Nepal, di Bariyapur, di perbatasan dengan India, di Festival Gadhiami, di lapangan yang dikelilingi tembok tinggi, ratusan laki-laki siap dengan sabit bengkok yang panjang. Mereka bertugas memenggal sejumlah besar kerbau dari punggung ke leher. Di tahun 2014, korban itu 10.000 sekaligus. Salah seorang penyembelih mengatakan, ia pernah membunuh 300 ekor dalam sehari. Mudah, katanya, “seperti memotong sayur”.

Siapa yang akan mengenali hewan itu satu per satu? Pertanyaan ini tentu tak ditanyakan — baik d Bariyapur maupun di Toraja, baik dalam tradisi Yahudi yang mempersembahkan qorban dalam ritual “shechita”, maupun dalam upacara “kourbania” di beberapa desa Yunani, di gereja Armenia dan Tewahedo. Kita tetap tak tahu, dan mungkin tak pernah bertanya, (kecuali mungkin para aktivis hak-hak asasi hewan), apa yang terjadi?

René Girard akan menjawab: mimikri. Ada sifat agresif dalam amarah, yang disalurkan ke sasaran pengganti, karena manusia tak sanggup atau tak berani melakukannya kepada si penyebab amarah. Mungkin manusia sebenarnya merasa tertindas Langit dan ingin memberontak, tapi apa daya? Ia sudah terjebak iman. Kekerasan pun dialihkan, seperti sambaran geledek dialihkan ke penangkal petir. Tapi hasilnya, seperti kata Girard, tetap “tak amat elok.”

Saya tak yakin itu menjelaskan semuanya. Yusuf dan Maria, seperti ditulis dalam Injil Lukas, mengorbankan dua burung merpati dan tak banyak orang yang membayangkan mereka agresif dan kejam. Mereka hanya mentaati hukum Tuhan, demikian disebutkan.

“… kita tak membayangkan Tuhan sebagai manusia — meskipun berkali-kali agama-agama melakukan itu — atau sebagai hewan, seperti dewi perang dalam agama Mesir kuno yang berkepala singa.”

Persoalannya kemudian, kenapa Tuhan menghendaki itu? Apakah antara lain itu sebabnya Penyair Amir Hamzah, yang sajak-sajaknya mirip puisi sufi, menulis kepada Tuhan, “Engkau ganas, Engkau cemburu”?

Tapi mungkin sebaiknya kita tak membayangkan Tuhan sebagai manusia — meskipun berkali-kali agama-agama melakukan itu — atau sebagai hewan, seperti dewi perang dalam agama Mesir kuno yang berkepala singa. Mungkin kita perlu kembali ingat bahwa selamanya ada hubungan yang akrab antara manusia dan hewan ketika Langit tak bertitah.

Di zaman Kediri dan Majapahit di Jawa, tak sedikit orang memakai nama binatang dengan gagah: Kebo Ijo, Banyakwide, Panji Kudawanengpati. Kini anjing, kucing, bebek, kuda diberi nama seperti kawan-kawan kita. Walt Disney disambut karena membuat mereka seakan-akan bagian hidup kita, dengan siapa kita bisa berempati: Donald Duck, Mickey Mouse, Goofy. Industri film memproduksi cerita yang romantis tentang anjing, “Lady and The Tramp”, tentang kijang kecil yang manis, “Bambi” atau ikan yang lincah, dalam film “Finding Nemo”.

Yang menarik, dalam film-film itu manusia hadir di antara hewan dan tak selamanya yang baik yang terjadi.

Pada suatu saat, ibu Bambi ditembak pemburu. Ia tak bisa berdiri lagi.

Percakapan terakhir yang kita dengar dari layar sinema seakan-akan datang dari dekat kita: “Mengapa ibu harus pergi?”

“Di hutan ini semua punya musimnya sendiri. Ketika satu rontok, yang lain tumbuh. Mungkin tak seperti yang sebelumnya, tapi sesuatu yang baru dan indah juga.”

“Tapi aku merasa sendirian.”

Banyak mata yang berkaca-kaca menatap adegan ini — dan sejenak ingat akan kekejaman kita, manusia.

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article