Senin, Mei 6, 2024

Tradisi Lebaran masyarakat Sunni dan Syiah di Arab Saudi

Must read

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Seperti apakah tradisi Lebaran atau Idul Fitri di Arab Saudi? Adakah persamaan dan perbedaan antara Lebaran di Arab Saudi dan Indonesia? Pula, apakah tradisi Lebaran sama atau beda di kalangan kaum Syiah dan Sunnah (sebutan warga Saudi untuk kelompok Sunni) di Arab Saudi?

Tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang yang menganggap masyarakat Muslim Arab Saudi itu “kering” dalam menjalankan tradisi Lebaran karena adanya asumsi “Salafisme–Wahabisme” yang berwatak puritan dan kurang ramah dengan aneka ragam aspek tradisi dan budaya lokal, ternyata faktanya tidak demikian.

Padahal, warga Saudi tidak melulu pengikut “Wahabi” (saya pakai tanda kutip karena warga Saudi umumnya tidak menyukai sebutan yang bernuansa peyoratif ini. Mereka lebih suka disebut Hanbali atau Salafi). Banyak dari mereka yang mengikuti tradisi Sunni non-Wahabi, non-Hanbali, atau bahkan beberapa aliran Syiah.

Perayaan Lebaran di Arab Saudi juga berlangsung sangat meriah dan khidmat penuh dengan taburan budaya dan tradisi lokal yang sudah mereka wariskan dan praktikkan secara turun-temurun selama berabad-abad. Tentu saja, saat ini (sejak tahun 2020) karena Covid-19, suasana Lebaran jadi lain karena sebagian besar dirayakan secara daring. Jadi, tidak semeriah saat sebelum pandemi.

Menariknya, baik masyarakat Sunni maupun warga Syiah yang berjumlah sekitar 15 persen dari total penduduk Arab Saudi yang mencapai sekitar 34,2 juta jiwa memiliki tradisi perayaan Lebaran yang kurang lebih sama. Yang membedakan di antara keduanya, antara lain, adalah ritual salat Idul Fitri.

Di kalangan masyarakat Syiah Saudi – populasi mereka mayoritas tersebar di Ahsa, Qatif, Saihat dan kawasan lain di Provinsi Ash-Sharqiyah – salat Id diiringi dengan dua khutbah setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan teks khusus yang ditujukan untuk Imam Hussein (putra Ali bin Abi Talib) dan kemudian doa untuk Imam Mahdi. Keduanya merupakan figur yang sangat penting bagi masyarakat Syiah.

Mekkah

Berikut ini sejumlah persamaan tradisi Lebaran di kalangan masyarakat Sunni dan Syiah di Arab Saudi seperti dituturkan oleh kolega maupun murid-murid saya yang berasal dari dua komunitas tersebut. Lagi, ini adalah tradisi perayaan Lebaran di masa normal sebelum pandemi.

Di antara persamaannya, antara lain, tradisi mudik. Sejak 1970an dan terutama 1980an ketika era “pembangunanisme” (developmentalisme) dan industrialisasi booming di Arab Saudi akibat meroketnya harga minyak di pasaran dunia, banyak masyarakat yang semula tinggal di daerah pinggiran kemudian pindah ke kota-kota utama seperti Riyadh, Jeddah, Dammam, Jubail, Khobar, Dhahran, dlsb untuk mencari pekerjaan di perusahan-perusahaan atau di tempat lain.

Urbanisasi menjadi tak terelakkan karena pemerintah, kalangan industri, dan pelaku usaha membutuhkan banyak tenaga kerja. Karena laki-laki usia produktif terbatas, mereka bahkan mendatangkan para pekerja dari berbagai negara.

Pelan tapi pasti, akhirnya banyak warga Saudi yang tinggal di kota-kota berpisah dengan anggota keluarga utama mereka di desa-desa atau kawasan pinggiran yang tidak terjamah oleh industrialisasi dan pembangunan sektor lainnya.

Karena itulah, Idul Fitri (selain Idul Adha) menjadi momen penting untuk mudik ke kampung halaman merayakan bersama anggota keluarga lain atau teman lama. Mereka yang berada di Luar Negeri pun menyempatkan diri untuk mudik. Lebaran kemudian menjadi “ajang reuni” bagi anggota keluarga atau bahkan anggota suku dan klan yang tinggal terpisah di berbagai tempat.

Persamaan berikutnya adalah “tradisi idiyah”, yaitu pemberian sejumlah uang receh ke anak-anak biasanya sekitar 5 atau 10 Riyal (SR 1 = Rp. 4.000). Anak-anak sudah tahu tradisi ini. Karena itu setiap lebaran mereka keliling dari rumah ke rumah untuk minta “idiyah” ini. “Ada bahkan anak-anak yang kadang bisa mengumpulkan uang hingga SR 1.000,” kata temanku Haytham Alhubaithi.

Bukan hanya anak-anak, bagi anggota keluarga yang mampu atau yang sudah bekerja, mereka juga memberi uang ke anggota keluarga yang belum bekerja atau kepada nenek mereka. Tentu saja bukan SR 10, melainkan SR 100 atau SR 200 tergantung kemampuan dan kerelaan.

Kemudian, baik masyarakat Sunni maupun Syiah, setelah salat Subuh dan sebelum salat Id, mereka biasanya mandi terlebih dahulu. Tujuannya tentu saja supaya tubuh jadi bersih untuk menyambut “hari kemenangan”. Setelah mandi, sekeluarga kemudian berangkat ke masjid untuk menunaikan salat Id dan mendengarkan khutbah Id.

Tak lupa mereka memakai pakaian tradisional yang baru seperti jubah/gamis (thub) lengkap dengan kain penutup kepala (disebut ghutrah, shimag, kufiyah dlsb) dan tali hitam pengikatnya (iqal).

Perempuan juga mengenakan aneka ragam pakaian (abaya) baru lengkap dengan parfum dan pernik-pernik lainnya. Kata temanku, uang yang dikeluarkan untuk membeli pakaian perempuan ini jauh lebih banyak (karena harganya lebih mahal) ketimbang laki-laki. Sering mereka pesan atau “berburu” pakaian jauh hari sebelum Ramadan, baik dari Arab Saudi sendiri maupun dari luar negeri.

Perlu diingat, hanya laki-laki yang salat Id di masjid. Sementara perempuan tetap di rumah. Kaum perempuan tidak dilarang salat Id di masjid tetapi menurut tradisi mereka (yang dipengaruhi oleh sejumlah teks Hadis), perempuan melaksanakan salat di rumah.

Saat saya tanya alasan kenapa perempuan salat Id di rumah? Mahdi Almabruk menjelaskan, “Karena perlu ada orang yang tetap menjaga rumah sambil menyiapkan aneka makanan dan minuman untuk menjamu tamu-tamu yang datang saat Lebaran.”

Sebetulnya bukan hanya salat Id, salat-salat yang lain pun, perempuan melakukannya di rumah. Meski demikian, masjid-masjid biasanya juga menyediakan ruang khusus (di atas atau samping) atau, kalau tidak, alat pembatas khusus (biasanya terbuat dari kayu yang dipasang roda sehingga bisa digeser-geser).

Selain mempersiapkan hidangan Lebaran, baik untuk sarapan, makan siang, atau jamuan para tamu, perempuan juga (biasanya nenek atau ibu) membakar dupa, baik yang berbentuk serbuk (bukhur atau bakhur) maupun yang potongan-potongan kecil (oud). Tujuannya bukan untuk “mengundang setan” tetapi agar ruangan menjadi wangi.

Setelah menunaikan salat Id, para jamaah kemudian saling berjabat tangan, berpelukan, saling sapa, dan mengucapkan “minal aidin wal faizin”, “id mubarak”, “kullu am wa antum bi khair”, dlsb. Ada masjid yang juga menyediakan makanan ringan untuk jamaah. Ini biasanya diorganisir oleh pihak pengurus atau takmir masjid. Kalau di kampungku, jamaah yang membawa aneka makanan (umumnya kupat, lontong, daging ayam, tempe dlsb) ke masjid.

Lalu, setelah prosesi salat Id selesai, mereka berziarah ke makam (maqbarah) untuk membacakan sejumlah surat pendek dari Al-Qur’an (seperti Alfatihah) pada anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. “Meskipun umumnya laki-laki yang berziarah, perempuan juga tidak dilarang melakukannya,” kata muridku, Al-Mabruk.

Dari tempat pemakaman, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk sarapan dengan menu seperti biasanya sebelum bulan Ramadan, yaitu kebdah, ful, adas dlsb. Rumah-rumah mereka biasanya didesain secara terpisah untuk laki, perempuan, dan tamu, semuanya ada dinding pembatas.

Jika menu sarapan itu cukup sederhana, tidak halnya dengan menu makan siang yang cukup besar. Untuk makan siang, mereka biasanya memotong domba yang dagingnya nanti dimakan dengan nasi dan aneka “side dishes” dan minuman (teh, kopi, soft drinks, laban, yogurt, dlsb).

Berapa domba yang dipotong tergantung kemampuan masing-masing serta tergantung jumlah keluarga besar mereka. Kenapa domba dan bukan ayam yang dipotong? Menurut mereka, daging ayam, lantaran harganya murah, dianggap tidak “mengorangkan” atau “menghargai” tamu-tamu yang datang yang biasanya berjumlah cukup banyak, selain menjadi simbol “kepelitan” atau “kekikiran”.

Jadi daging domba adalah lambang “kemurahan” atau “kedermawanan”, selain respek terhadap para tamu. Tradisi “potong domba” ini, seperti ditulis oleh sejumlah antropolog (misalnya, Donald Cole dalam “Nomads of the Nomads: The Al Murrah Bedouin of the Empty Quarter”) sebetulnya juga merupakan bagian dari kultur lama masyarakat Arab Badui pastoralis-nomad yang dikenal dermawan (Jawa: “loman”) pada tamu atau orang lain sehingga ada ungkapan populer: meskipun seadainya mereka hanya mempunyai seekor domba, maka domba itu akan dipotong untuk disuguhkan pada tamu.

Makan siang denga porsi yang besar itu juga sebagai “persiapan” kalau misalnya tidak sempat makan malam karena kecapean setelah bermalam-malam melek.

Kini, karena pandemi, mereka tidak bisa merayakan Lebaran seperti biasanya. Tidak lagi bisa ramai-ramai ke masjid karena banyak masjid yang membatasi jamaah. Tidak lagi bisa ramai-ramai mudik. Tidak bisa lagi saling bersalaman dan berpelukan. Yang anak-anak tidak bisa lagi berburu uang receh. Semua dibatasi oleh pemerintah. Hanya perkumpulan dengan jumlah tertentu saja yang dibolehkan. Akhirnya, sebagian besar tradisi atau kebiasaan Lebaran dirayakan secara daring.

Meski demikian, mereka tetap bisa bergembira, saling sapa, dan saling canda untuk merayakan “hari kemenangan” ini, meskipun hanya di dunia maya. Adakah yang sama atau beda dengan tradisi perayaan Lebaran di kampung halamanmu?


Keterangan: Tulisan ini awalnya diterbitkan oleh alif.id. Saya edit dan tambah sejumlah data, kata, dan kalimat untuk keperluan akurasi.

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article