Jumat, Mei 17, 2024

Djoko Pekik: “Saya tipe pelukis kuda balap, bukan kuda andong!”

Must read

Menilik usianya yang sudah sepuh dengan karakter karya yang masih galak menyuarakan tentang ketidakadilan, politik Orde Baru yang hegemonik, ketimpangan sosial, serta cara bersiasat mengetengahkan karya yang berbeda, telah memberi gambaran pada publik bahwa seniman ini bukan tipe seniman yang lembek menghadapi tantangan hidup, jaman, dan keadaan.

Secara eksistensial, namanya pun baru terbilang berkibar pada tahun 1990-1991 ketika ada kontroversi rekruitmen seniman peserta pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat). Waktu itu, kurator pameran seni rupanya adalah Joseph Fischer, seorang akademisi yang tegas dan rigid dengan standar keilmuannya. Dari hasil seleksi oleh panitia local di Indonesia atas para seniman yang lolos, banyak nama yang relative seragam ideology kreatifnya.

Di situ banyak seniman yang sepaham dengan Orde Baru selaras ideologinya dengan Soeharto sajalah yang diloloskan. Joseph Fischer menolak. Alasan dan acuannya antara lain adalah dari hasil riset lapangan yang dilakukan oleh senionya, Claire Holt yang kemudian melahirkan buku penting, yakni “Art in Indonesia”.

Dalam buku tersebut banyak nama seniman seni rupa yang karyanya bagus, ideologis, dan memberi warna yang khas bagi perjalanan seni rupa di Indonesia. Antara lain ada nama Djoko Pekik dalam daftar Holt.

Di sisi lain, panitia dan tim seleksi di Indonesia memilih seniman antara lain dengan landasan bahwa merekalah yang sejalan dengan garis politik dan ideologi Orde Baru-lah yang akan dipilih. Itulah pangkal soalnya. Situasi tegang. Polemik antarseniman yang sudah mulai uzur itu sempat seru terjadi di media massa di Indonesia, termasuk Yogyakarta.

Pekik yang dulu aktif di Sanggar Bumi Tarung yang kekiri-kirian menjadi salah satu orang yang diserang oleh kelompok seniman kanan seperti Handrio, Bagong Kussudiardjo, dan lainnya.

Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja akhirnya mampu menengahi perkara itu setelah Fischer tetap tak mau mengalah. Djoko Pekik akhirnya lolos seleksi sehingga salah satu karyanya dipamerkan di Amerika Serikat. Reputasinya kemudian melambung sebagai salah satu seniman yang mencuat karena kontroversi.

Namun lebih dari itu, kualitas karyanya mampu mencuri perhatian publik, kurator dan pengamat seni sehingga mendapat apresiasi yang meluas. Tema-tema karyanya yang berbicara tentang realitas sosial politik dari sudut pandang orang kecil atau wong cilik, mampu menyedot simpati banyak penontonnya. Karakter karyanya yang oleh beberapa pengamat seni disebut sebagai karya seni “realisme sosial” itu menjadi alternatif yang berbeda di tengah karya-karya yang eksotik, manis, saleable, pada kurun waktu itu.

Sementara karya Djoko Pekik menampilkan sisi getir, pahit, hitam, kumal, dari keseluruhan pemandangan tentang manusia-manusia Indonesia. Mereka antara lain adalah sosok penari ronggeng yang berbedak di tengah peluh yang membanjir, tentang tukang becak yag kesepian tanpa penumpang dan uang, dan sebagainya.

Setelah keterlibatannya dalam pameran KIAS itu, nasib baik berpihak merubung Pekik. Undangan pameran, baik secara tunggal atau pun kolektif, datang bertubi-tubi. Salah satu pameran tunggalnya yang berlangsung tahun 1992 di rumah seniman Sardono W. Kusumo yang disulap menjadi galeri seni, meraup sukses cukup besar, baik dari sisi pewacanaan dan isu, serta dari aspek pasar. Banyak karya Pekik dikoleksi dengan harga yang relatif tinggi untuk ukuran seniman sekelasnya waktu itu.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article