Jumat, Mei 17, 2024

Djoko Pekik: “Saya tipe pelukis kuda balap, bukan kuda andong!”

Must read

Dari sinilah dia menghidupi keluarganya. Dia bahkan terlibat sebagai penjahit setelah sebelumnya belajar sedikit demi sedikit dari para tukangnya sendiri. Pelan-pelan usahanya lancar, lalu membuka kios di salah satu bagian rumah mertuanya di sebelah timur perempatan Wirobrajan.

Kios penjahitan itu kemudian diberinya nama “Rama Taylor”. Seiring waktu, usaha itu bergeser setelah Pekik sesekali blusukan ke kampong-kampung di selatan kota Klaten dan mengenal kain gendhong. Inilah yang kemudian dikembangkannya. Nama tempat usahanya pun berganti nama menjadi “Logro”.

Sebenarnya, kalau mau, Pekik masih bisa menerima order melukis. Misalnya melukis potret, bunga, pemandangan yang molek dan sebangsanya. Uang pun bisa dengan relative mudah didapatkan dari situ.

Namun, baginya, itu mengganggu idealismenya yang sudah lama tertanam dalam proses berkarya. “Saya itu pelukis kuda balap, bukan pelukis kuda andong!” tegas Djoko Pekik. Seniman yang telah memiliki 18 cucu ini ingin menegaskan bahwa kalau seniman yang bertipe pelukis kuda balap itu ya seniman “yang larinya kencang, pencapaiannya besar”, sementara seniman tipe kuda andong “lebih banyak mengangguk mengikuti juragannya, dan perolehannya kecil.”

Ini seperti pesan filosofis bahwa Pekik lebih memilih menjaga idealisme sebagai seniman daripada hanyut dalam alunan riak-riak kecil gerak kesenian yang mungil pencapaiannya.

Itulah yang mendasari langkah-langkah “rahasia” yang dilakukan seniman ini. Di tengah kesibukannya sebagai penjahit kain lurik, dia berusaha keras untuk mencuri waktu dan kesempatan melukis.

Repotnya, material untuk melukis itu tidak semuanya murah. Dan Pekik pun tak ingin yang murahan. Maka, sesekali dia nekat untuk mendekati seniman besar, maestro Affandi, untuk mendapatkan material mahal itu. Sesekali dia berkunjung ke rumah sekaligus studio Affandi di tepi sungai Gajahwong, Yogyakarta bagian timur.

Di sana dia meminta tube-tube cat bermerk Rembrandt yang sudah tidak dipakai lagi namun masih ada sedikit sisa cat di dalamnya.

Begitu juga dengan kuas yang berstandar tinggi dimintanya meski bekas pakai. “Cat Rembrandt itu kan bagus, mahal dan awet. Hanya Affandi dan beberapa seniman kaya saja yang mampu membeli dan memakainya. Makanya saya harus punya standar tinggi seperti itu, hehehe…,“ ujarnya sambil terkekeh renyah.

Ulang-alik antara usaha penjahitan dan keinginannya menjadi seniman tipe “kuda balap” dilakukan terus oleh Djoko Pekik, meski dalam proses awalnya usahanya sebagai penjahit sudah lumayan bisa menghidupi keluarganya, satu istri dengan 8 anak.

Dia mengenang masa lalunya itu yang kadang mengenaskan ketika mengingat di seberang kios usahanya ada seorang penjual makanan yang enak dan laris. Dia dan anak-anaknya hanya bisa sering menatap orang-orang yang menyantap makanan itu tanpa mampu membelinya karena keterbatasan ekonomi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article