Jumat, Mei 3, 2024

Djoko Pekik: “Saya tipe pelukis kuda balap, bukan kuda andong!”

Must read

Oleh Kuss Indarto

(Catatan ini dimuat dalam majalah Tong Tjie Lifestyle, edisi IV – 2016, halaman 16-26)

Tahun 1998, nama seniman Djoko Pekik mengguncang jagad seni rupa Indonesia. Pasalnya, pada 16-17 Agustus tahun itu dia memamerkan hanya satu buah lukisan dan dalam durasi 24 jam atau sehari semalam saja di gedung Bentara Budaya Yogyakarta.

Hal yang lebih menghebohkan lagi, karya tersebut, yang bertajuk “Berburu Celeng”, berpindah ke tangan seorang kolektor dengan harga transaksi sebesar Rp 1 miliar!

Itulah harga tertinggi sebuah karya seni lukis di Indonesia pada waktu itu. Pencapaian tersebut mengalahkan harga karya para seniman maestro, yang lebih senior, dan telah mengisi jejak penting sejarah seni rupa Indonesia seperti Affandi Kusuma, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Basoeki Abdoellah, dan lainnya. Pada tahun-tahun itu harga karya para maestro itu baru sampai angka ratusan juta rupiah.

Peristiwa itu begitu fenomenal karena kemudian berimbas pada dimensi lain dalam dinamika seni rupa di Indonesia. Misalnya pada aspek pasar atau art market. Gelombang kenaikan harga karya seni rupa pelan tapi pasti bergerak di mana-mana. Apalagi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan muncullah booming seni rupa. 

Booming ini berupa lonjakan permintaan pasar atas karya seni rupa yang berakibat pada naik dan mahalnya harga karya. Untuk kasus di Indonesia kala itu, faktor penyulutnya antara lain karena krismon atau krisis ekonomi mulai tahun 1997 yang disebabkan oleh merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, dari $1 US = Rp 2.000,- menukik secara tajam hingga Rp 17.000,-.

Itulah yang membuat para pemilik uang melarikan sebagian dananya untuk berinvestasi, antara lain ke karya-karya seni rupa. Maka, booming pun meledak. 

Patokan harga karya Djoko Pekik yang hingga mencapai Rp 1 miliar begitu mengesankan pasar. Artinya, karya seni bukanlah barang murahan yang tidak bernilai investatif. Itu pandangan yang terbelokkan ketika menyimak harga karya Djoko Pekik.

Maka, kemudian, dalam berbagai sesi lelang di lembaga auction di Indonesia atau di Singapura, Hongkong dan lainnya, harga karya para seniman Indonesia terkatrol tinggi oleh fenomena “Berburu Celeng”. Banderol harga atau estimasi awal dengan bilangan miliaran rupiah mulai menghinggapi karya-karya seniman Indonesia lainnya, terutama yang sudah berlevel maestro dan kebetulan sudah wafat.

Begitulah. Momen pameran tunggal 16-17 Agustus 1998 itu mengukuhkan seorang Djoko Pekik sebagai salah bintang seni rupa yang pantas diapresiasi. Itu terjadi ketika usia Djoko Pekik sudah tidak muda lagi: 59,5 tahun.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article