Jumat, Mei 17, 2024

Djoko Pekik: “Saya tipe pelukis kuda balap, bukan kuda andong!”

Must read

Banyak kisah sedih, mengenaskan dan menyesakkan ketika melakoni hidup sebagai seorang pesakitan. “Saya sering tidak makan. Kalau toh makan ya seadanya,” cerita ayah dari 8 anak putera-puteri ini. Hukuman tanpa sebab, atau karena persoalan kecil yang tak masuk akal sering dialaminya. Hukumannya macam-macam dan mengerikan.

Misalnya, dia dipaksa untuk mengakui sebuah perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Dia diinterogasi dengan keras bahkan kasar. Lalu, alas kaki diminta untuk dilepas. Dua kaki kursi kaki diletakkan di atas jemari kakinya yang tirus dan kurus. Ketika Pekik tetap tidak mengakui hal yang tak dilakukan, seorang interogator berbadan gendut naik di atas kursi lalu melompat-lompat di atasnya.

Pekik hanya bisa menahan teriak dan perih merasakan kakinya yang tanpa alas ditimpa beban tersebut. Tentu, masih banyak sekali penderitaan fisik dan mental yang dialaminya selama tujuh tahun itu.

Pada masa getir dalam penjara ini dia melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya asal Yogyakarta, C.H. Tini Suwartiningsih, pada tahun 1969. Tentu dengan proses yang sangat sederhana. Bahkan kemudian, setahun berikutnya, tahun 1970, anak pertama pasangan itu lahir. Pekik-Tini memberinya nama Gogor Bangsa.

*

Tahun 1972, kebebasan diterimanya. Penjara yang mengekangnya bertahun-tahun telah lepas. Lalu, apakah dia betul-betul bebas selepas-lepasnya. Tidak ternyata! Djoko Pekik telah lepas dari penjara fisik, tapi masuk dalam penjara sosial.

Pemerintah Orde Baru memfasilitasi upaya penghukuman itu dengan memberi cap di KTP-nya: Eks Tapol. Bekas tahanan politik. Itu belenggu yang besar, kuat, tak kelihatan nyata secara fisik namun terasakan betul dalam relung batinnya.

Dia tak bisa seluas dan seleluasa mungkin bergaul dengan rekan-rekan seniman. Apalagi kalau menghadapi seniman yang dulu, sebelum tahun 1965, jelas-jelas berbeda haluan politik. Pasti ada tabir yang memberi jarak dalam relasi sosial keseharian. Sekadar berbincang sebagai manusia pun terasa gamang.

Djoko Pekik tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. “Mereka kan teman saya sendiri. Mereka juga takut kalau asap dapurnya ikut tidak bisa mengepul gara-gara bergaul dengan saya, bekas tahanan politik,” tuturnya.

Selepas dari penjara, pilihan hidup dan profesinya sebagai seniman terpaksa mulai mengendur. Sebetulnya ini bertolak belakang dibanding dengan gejolak isi hatinya yang begitu semangat kembali menjadi seniman 100%.

Tapi apa daya, realitas sosial politik yang berubah tidak memungkinkannya untuk itu. Dia simpan hasrat yang kuat itu sebagai tabungan energi dan ide ke depan. Djoko Pekik menapaki kehidupan barunya dengan membuka usaha penjahitan. Awalnya dia buka usaha di pinggir jalan. Betul-betul menjahit di pinggir jalan. Ini usaha kecil-kecilan yang dirintisnya dari awal.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article