Jumat, Mei 17, 2024

Djoko Pekik: “Saya tipe pelukis kuda balap, bukan kuda andong!”

Must read

Mereka mengisahkan bahwa wilayah Trisik itu secara ekonomi dikuasai oleh seorang tuan tanah yang sangat kaya dan dianggap eksploitatif. Namanya pak Haji Dawam Roji. Pekik dan kawan-kawannya hanya bisa menyerap dan menampung suara hati penduduk yang curhat itu, karena bukan fasilitator yang akan bisa memberi solusi bagi masalah penduduk setempat.

Namun tampaknya gerak-gerik Pekik dan kelompoknya dicurigai. Mereka dianggap sebagai pihak yang mencoba menggosok masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada sang tuan tanah setempat.

Maka, tak heran, banyak centeng, preman beserta antek-antek lain yang memata-matai tiap gerak para seniman tersebut. Karena tak nyaman, maka pada hari kesembilan (dari 14 hari yang direncanakan), rombongan seniman itu terpaksa keluar dari wilayah Trisik.

Pekik mengabadikan pengalaman tinggal di situ dengan melukis seorang kakek tua yang tergolek di atas ranjang dan ditunggui seorang perempuan muda. Karya itu diberi tajuk “Tuan Tanah Mati Muda” karena kisah tersebut mirip dengan yang terjadi senyatanya. Karya itu mengesankannya sehingga sampai sekarang masih terpajang di atas tembok rumahnya. Dia tidak berniat untuk menjualnya.

*

Ternyata, aksi curiga-mencurigai seperti saat di Trisik itu berlangsung terus. Puncaknya ketika Presiden Soekarno jatuh dari pemerintahannya pada tahun 1965, dan diganti oleh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Perubahan politik berlangsung drastis dan ekstrim.

Mereka yang selama ini dianggap aktif—langsung atau tidak langsung—dalam organisasi yang berbau kekiri-kirian ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses peradilan. Djoko Pekik juga terkena imbasnya. Pada tanggal 8 November 1965, dirinya bersama sekian banyak seniman yang aktif di Sanggar Bumi Tarung, Sangar Pelukis Rakyat, dan lainnya dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Tidak lama kemudian, karena makin banyaknya tahanan berada di situ, lalu sebagian—termasuk Djoko Pekik—dipindahkan ke Benteng Vredeburg di ujung selatan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Waktu itu lokasi Vredeburg masih menyeramkan karena sudah puluhan tahun tidak pernah dirawat dan dipugar, hanya sebagai markas tambahan bagi tentara.

Gelombang penahanan bagi orang-orang yang dianggap terlibat dalam G30S terus berlangsung hingga tahun 1966, bahkan tahun-tahun berikutnya. Mereka banyak juga yang dibuang ke pulau Buru di Maluku. Para seniman dari kota-kota lain banyak yang mengalami hal serupa, termasuk sastrawan terkemuka Indonesia waktu itu, Pramudya Ananta Toer.

Sebenarnya, para seniman di Yogyakarta juga berpotensi untuk dibuang ke pulau Buru. Namun nasib berkata lain. Di awal-awal tahun 1966—pada sisa waktu terakhir Bung Karno memerintah sebelum diganti oleh Soeharto—The Founding Father itu bertandang ke AMN (Akademi Militer Nasional, sekarang AKABRI) untuk mewisuda lulusan akademi militer tersebut.

Pada kesempatan itu, Si Bung sengaja mengundang dan mengajak berbicara Komandan Korem Pamungkas Yogyakarta, Letkol (CPM) Mus Subagyo. Kepada sang komandan, Soekarno kurang lebih berpesan dengan penuh harapan; “Tolong amankan para seniman yang ditahan di wilayahmu. Jangan dibuang jauh, jangan dibunuh, karena menciptakan seorang seniman itu jauh lebih sulit dibanding menciptakan seratus insinyur!”

Pesan presiden Soekarno yang juga seorang insinyur lulusan ITB itu dipegang teguh oleh Letkol Mus Subagyo. Dan pesan itulah, tampaknya, yang ikut menyelamatkan nasib dan kehidupan Djoko Pekik dan sekian banyak seniman Yogyakarta yang dianggap beraliran kiri. Pekik mendekam dalam penjara selama sekitar 7 tahun, mulai akhir 1965 hingga pertengahan 1972.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article